I.
PENDAHULUAN
Tafsir Fiqhi sering disebut dengan tafsir ahkam
atau tafsir ayatil ahkam yaitu tafsir Al Qur’an yang beraliran Fiqih atau hukum
atau tafsir yang dalam penafsirannya banyak difokuskan pada bidang hukum
kadang-kadang dalam hal ini yang ditafsirkan hanya ayat-ayat Al Qur’an yang
menyangkut soal hukum saja, sedangkan pada ayat yang lain tidak memuat hukum
fiqih tidak ditafsirkan atau tidak dimuat.
Dapat di pahami bahwa kedudukan Nabi Muhammad SAW
terhadap al-Qur'an sudah jelas beliau ditugaskan menafsiran al-Qur'an kepada
para sahabatnya di samping menyampaikan seluruh informasi kewahyuan kepada
mereka.
Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam salah satu firmannya:
Tidak dapat di ragukan bahwa ayat tersebut di atas menunjukan adanya
penjelasan Rasulullah di satu sisi itu merupakan tafsir. Ketika para sahabat
kesulitan memahami suatu ayat mereka langsung menanyakannya kepada Nabi. Dengan
demikian sebenarnya Tafsir al- Qur'an telah tumbuh di masa Nabi SAW sendiri dan
beliaulah permulaan penafsir (Al-Mufassir Al-Awwal) bagi kitab Allah. Beliau
menerangkan maksud-maksud wahyu yang di turunkan kepadanya. Sahabat-sahabat
Rasulullah tidak ada yang berani menafsirkan al-Qur'an ketika Rasul masih
hidup. Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan al-Qur'an.
Al-Qur'an meliputi hukum-hukum yang berkenaan dengan kemaslahatan manusia
di dunia dan di ahirat. Kaum muslimin memahami ayat-ayat hukum sesuai
dengan bahasa arab yang mereka fahami. Jika menghadapi kesulitan, mereka dengan
mudah menanyakan dan mengkompromikan penafsiran yang benar kepada Rasulullah
SAW.
Penafsiran al-Qur'an setelah Rasulullah wafat dirasakan sangat perlu ketika
terjadi kasus-kasus hukum yang sebelumnya tidak pernah ada di zaman Rasul. Maka
segera diperlukan istinbath hukum dari al-Qur'an, jika tidak ada penjelasan hukumnya
dalam al-Qur'an maka segera dicari penjelasanya dalam hadis. Jika dalam hadis
pun tidak ada ada penjelasan hukumnya, segera dilakukan ijtihad. Para sahabat
tidak selamanya sepakat atas hasil istinbath hukum dikalangan mereka, mereka
pun kadang-kadang berbeda pendapat, walaupun dalam kasus yang sama. Keadaan
seperti ini terus berlanjut hingga lahirnya mazhab-mazhab hukum. Pada masa ini
banyak kasus-kasus hukum yang timbul dan tidak pernah di jumpai sebelumnya.
maka lahirlah tafsir yang di tulis oleh masing –masing madzhab hukum .
Ketika tiba masa empat imam Fiqih dan setiap imam membuat dasar-dasar
istinbath hukum masing-masing dalam mazhabnya serta berbagai peristiwa semakin
banyak dan persoalan pun menjadi bercabang-cabang, maka semakin bertambah pula
aspek aspek perbedan pendapat dalam memahami ayat, hal ini di sebabkan
perbedaan dari segi dalalahnya, bukan karena fanatisme suatu mazhab melainkan
karena setiap ahli Fiqih berpegang kepada apa yang dipandangnya benar. Karena
itu ia tidak memandang dirinya hina jika ia mengetahui kebenaran pada pihak
lain untuk merujuk kepadanya.
Di dalam perkembangan selanjutnya, masing-masing imam mazhab tersebut
mempunyai banyak pengikut. Sebagian dari mereka ini ada yang sangat fanatik,
yang menatap ayat-ayat dengan kacamata mazhab semata, lalu menafsirkan
ayat-ayat tersebut sesuai dengan pandangan mazhab. Namun, sebagian dari mereka
itu ada pula yang obyektif, yang melihat ayat dengan kacamata yang bebas dari
tendensi dan kepentingan mazhab, mereka menafsirkan ayat-ayat seperti apa
adanya sesuai dengan kesan nalar mereka.
II.
PEMBAHASAN
A.
Karya-karya
tafsir fiqh
1.
Ahkamul
Qur’an oleh Al-Jassas (terbit),
2.
Ahkamul
Qur’an oleh Al-Kaya Al-Haras (manuskrip),
3.
Ahamul
Qur’an
Ibnul ‘Arabi (terbit),
4.
Al-Jami’
li Ahkamil Qur’an, oleh
Al-Qurtubi (terbit),
5.
Al-Iklil
fi Istinbatit Tanzil, oleh
As-Suyuti (manuskrip),
6.
At-Tafsiratul
Ahmadiyah fi Bayanil Ayatisi Syar’iyah oleh
Mula Geon (terbit di India),
7.
Tafsiru
Ayatil Ahkam, oleh Syaikh
Muhammad As-Sayis (terbit),
8.
Tafsiru
Ayatil Ahkam, oleh Syaikh
Manna’ al-Qattan (terbit), dan
9.
Adwa’ul
Bayan, oleh Syaikh Muhammad Asy-Syinqiti
(terbit).
Berikut ini akan dipaparkan beberapa tokoh mufassir yang
menggunakan corak tafsir fiqhi beserta sedikit ulasan mengenai karya tafsirnya.
a.
Ahkamul
Qur’an, oleh Al-Jassas.
Nama aslinya
adalah Abu Bakar Ahmad bin Ali ar-Razi, yang terkenal dengan panggilan Al-Jassas
(tukang plester). Dinisbahkan pada pekerjaan al-jass (memlester). Ia adalah
seorang imam fikih Hanafi pada abad keempat Hijriyah. Dan kitabnya Ahkamul
Qur’an dipandang sebagai kitab tafsir fikqhi terpenting, terutama bagi pengikut
mazhab hanafi.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an terutama yang berkaitan dengan urusan
fikih beliau tentunya berpegang pada pendapat dari imam Hanafi.
Dalam kitab
tafsirnya beliau membatasi diri hanya membahas masalah-masalah furu’ (cabang).
Dalam menafsirkan ayat al-Qur’an beliau memaparkan satu atau beberapa ayat,
kemudian menjelaskan maknanya dengan atsar dan memaparkan masalah fikih yang
berhubungan, baik hubungan itu dekat maupun jauh, serta mengemukakan berbagai
perbedaan pendapat antar mazhab. Sehingga membaca kitab ini seolah-olah kita
sedang membaca kitab fikih bukan kitab tafsir.
Dalam tafsirnya
nampak jelas bahwa al-Jassas menganut paham mu’tazilah. Misalnya ia mengatakan
mengenai firman Allah, ia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata (al-An’am
[6]:103); makna ayat ini ialah: Ia tidak dapat dilihat oleh penglihatan mata.
Ini merupakan pujian dengan peniadaan penglihatan mata. Ini merupakan pujian
dengan peniadaan penglihatan mata, seperti firman-Nya: ...tidak mengantuk dan
tidak tidur... (al-Baqarah [2]:255). Apa yang ditiadakan Allah untuk memuji
diri-Nya maka penetapan kebalikannya adalah celaan dan penghinaan, karena itu
tidak diperkenankan menetapkan kebalikan tersebut, oleh karena itu memuji-Nya
dengan peniadaan dari-Nya penglihatan mata, maka menetapkan kebalikannya tidak
diperkenankan karena hal demikian berarti menetapkan sifat aib dan kurang
(bagi-Nya).
Kitab al-Jassas
telah diterbitkan dalam 3 jilid dan beredar luas di kalangan ahli ilmu karena
ia merupakan rujukan fikih Hanafi.
Maka tidak diragukan lagi setiap orang yang merujuk pada fikih Hanafi mesti
telah membaca karya beliau yang cukup penting ini.
b.
Ahkamul
Qur’an, oleh Ibn ‘Arabi.
Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad
al-Mu’afiri al-Andalusi al-Isybili adalah salah seorang ulama Andalusia yang
luas ilmunya bermazhab Maliki. Kitabnya Ahkamul Qur’an merupakan rujukan
terpenting bagi tafsir fikih kalangan pengikut Maliki.
Didalam tafsirnya Ibnu ‘Arabi adalah seorang adil dan moderat,
tidak terlalu fanatik kepada mazhab dan tidak kasar dalam menyanggah pendapat
lawan-lawannya sebgaimana dilakukan al-Jassas, meskipun demikian ia tidak
memperhatikan setiap kesalahan ilmiah yang keluar dari mujtahid maliki.
Ia menyebutkan berbagai pendapat ulama dalam menafsirkan ayat
dengan membatasi pada ayat-ayat hukum, dan menjelaskan berbagai kemungkinan
makna ayat bagi mazhab lain serta memisahkan setiap ponit permasalahan dalam
menafsirkan ayat dengan judul tertentu.
Berbeda dengan al-Jassas yang cenderung mengkritik mazhab lain
dengan keras, Ibn ‘Arabi cenderung lebih sopan dalam mengkritik pendapat dari
mazhab lain yang tidak sependapat dengannya. Karena yang dibahas adalah masalah
furu’ maka keaneka ragaman pendapat tidak bisa dihindarkan.
Sebagai contoh penafsiran beliau adalah sebagai berikut:
“wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu....” (Al-Maidah
[5]:6)
Ibn ‘Arabi berkata: Masalah
kesebelas adalah firman-Nya “faghsilu” (basuhlah). Asy-Syafi’i mengira, yaitu
menurut sahabatnya Ma’d bin ‘Adnan didalam al-Fasahah, apalagi Abu Hanifah dan
lainnya, bahwa membasuh adalah menuangkan air pada sesuatu yang dibasuh tanpa
menggosok-gosok. Kami telah menjelaskan rusaknya pendapat ini dalam
masalah-masalah khilafiyah dan di dalam tafsir surat an-Nisa. Kami telah
menyatakan bahwa “membasuh” adalah menyentuhkan tangan atau benda (anggota
badan) lain sebagai penggantinya dengan mengalirkan air.
Ibn ‘Arabi berpegang pada bahasa dalam mengistinbathkan hukum dalam
kitab tafsirnya. Ia juga meninggalkan cerita-cerita isra’iliyat dan mengkritik
hadis-hadis dha’if serta berhati-hati dengannya.
Kitab tafsir milik Ibn ‘Arabi ini telah diterbitkan beberapa kali.
Diantaranya ada yang dicetak dalam dua jilid besar dan ada pula yang dicetak
empat jilid. Kitab itu telah beredar luas di kalangan para ulama.
c.
Al-Jami’
li Ahkamil Qur’an, oleh Abu
Abdullah Al-Qurtubi.
Adalah Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin
Farh Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi seorang ulama ternama di kalangan
Maliki. Karyanya cukup banyak dan paling mashur adalah kitab tafsirnya:Al-Jami’li Ahkam Al-Qur’an
Di dalam tafsirnya ini Al-Qurtubi tidak membatasi
kajianya pada ayat-ayat hukum saja., tetapi konprehensif. Metodologi tafsirnya
adalah; menyebutkan asbabun nuzul (sebab-sebab
turunya ayat), mengemukakan ragam Qira’at
dan I’rab, menjelaskan
lafazh-lafazh yang gharib (asing),
melacak dan menghubungkan berbagai pendapat kepada sumbernya, menyediakan
paragraph khusus bagi kisah para mufassir dan berita-berita dari para ahli
sejarah, mengutip dari para ulama terdahulu yang dapat dipercaya, khususnya
penulis kitab hukum.Misalnya, ia mengutip dari ibnu Jarir Ath-Thabari. Ibnu
‘Athiyah, Ibnu Arabi, Alkiya Harrasiy dan Abu baker Al-Jasshash.
Al-Qurtubi sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum.
Ia mengetengahkan masalah-masalah khilafiyah, hujjah bagi setiap pendapat lalu
mengomentarinya. Dia tidak fanatik
madzhab. Contohnya saat menafsirkan firman Allah,
“Dihalalkan bagi kamu pada malam
hari puasa dengan istri-istri kamu..........,”(Al-Baqarah:187)
Dalam masalah kedua belas dari masalah yang terkandung
dalam ayat ini, sesudah mengemukakan perbedaan pendapat para ulama mengenai
hukum orang yang akan makan siang hari dibulan Ramadhan karena lupa, dan
mengutip pendapat Imam Malik, ynag mengatakan batal dan wajib mengqadha ; Ia mengatakan, “Menurut pendapat
selain Imam Malik, tidaklah dipandang batal setiap orang yang makan karena lupa
akan puasanya, dan jumhur pun berpendapt sama bahwa barang siapa makan atau
minum karena lupa, ia tidak wajib mengqadha’nya.
Dan puasanya tetap sempurna. Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Hurairah,
katanya, Rasulullah bersabda, “jika
seseorang sedang berpuasa lalu makan atau minum karena lupa, maka yang demikian
adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan ia tidak wajib
mengqadha’nya,”
Dari kutipan ini kita melihat, dengan pendapat yang
dikemukakannya itu Al-Qurtubi tidak lagi sejalan dengan madzhabnya sendiri, ia
berlaku adil terhadap madzhab lain.
Al-Qurtubi
juga melakukan konfrontasi terhadap sejumlah golongan lain. misalnya, ia
menyanggah kaum Mu’tazilah, Qadariyah, Syi’ah Rafidhah, para filosof dan kaum
sufi ynag ekstrim. Tetapi dilakukan dengan bahasa yang halus. Dan di dorong
oleh rasa keadilan, kadang-kadang ia pun membela orang-orang yang di serang
oleh ibn ‘Arabi dan mencelanya karena ungkapan-ungkapannya yang kasar dan keras
terhadap ulama. Dan jika perlu mengkritik, maka kritikannya pun bersih serta
dilakukan dengan cara sopan dan terhormat.
Kitab Al-Jami’Li Ahkam Al-Qur’an ini pernah hilang dari perpustakaan,
hingga akhirnya Dar Al-Kutub Al-Mishiriyah mecetaknya kembali. Kini bagi para
pembaca mudah untuk memperolehnya.
B. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir
Fiqhi
1. Kelebihan Tafsir Fiqhi
Meskipun peluang terjadinya perbedaan pendapat dalam melakukan penafsiran
al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi sangatlah besar, namun penafsiran lewat
pendekatan ini memiliki bebarapa kelebihan, diantaranya :
a. Memberikan kejelasan terhadap
umat Islam akan kandungan hukum syari’at yang terdapat dalam al-Qur’an, hal ini
menjadi titik tolak pemahaman umat bahwa sesungguhnya al-Qur’an tidak hanya
menjelaskan tentang aspek yang bersifat transenden dan metafisik (aqidah), akan
tetapi ia juga menjelaskan tentang aspek-aspek syari’ah, disisi lain juga
memberitahukan bahwa syari’ah atau hukum bukan semata-mata merupakan
produk fuqaha’ akan tetapi telah menjadi bagian dari nash-nash
al-Qur’an bahkan lebih dominan yang mampu mengatur tatanan hidup manusia baik
individu maupun sosial.
b. Upaya untuk memberikan
kesepakatan praktis yang bertujuan untuk mempermudah manusia dalam
mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang termaktub di dalam
al-Qur’an setelah terjebak ke dalam perbedaan mazhab dogmatis serius yang
bersifat teoritis.
c. Tafsir al-Qur’an dengan
pendekatan fiqhi meskipun memberikan peluang terjadinya perbedaan pemahaman
terhadap teks-teks Quraniyyah tetap memberikan sumbangsih pemikiran bahwa
sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan hukum dalam kehidupan baik individu
maupun sosial tetap harus tunduk kepada al-Musyarri’ al-Awwal (Allah)
melalui kalam-Nya yang mulia kemudian kepada pembawa wahyu dan risalah yang
kemudian dikenal sebagai al-musyarri’ ats-Tsany ba’da Allah (Rasulullah
Saw) melalui Sunnah beliau demi kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di
akhirat.
d. Tafsir fiqhi berusaha untuk
membumikan al-Qur’an lewat pemahaman ayat-ayat qauliyah kepada ayat-ayat
kauniyyah guna meberikan penyadaran, pemberdayaan dan advokasi terhadap
permasalahan kehidupan manusia.
e. Tafsir fiqhi kendatipun beragam
tetap memberikan kekayaan bagi khazanah intelektual muslim dunia, sebab tanpa
adanya penafsiran al-Qur’an dalam bentuk ini, maka umat Islam secara khusus dan
manusia secara umum akan kehilangan akar hukum dan perundang-undangan yang
sesungguhnya.
2. Kelemahan Tafsir Fiqhi
Hasil olah pikir manusia biasa tidak akan pernah lepas dari berbagai macam
bentuk kekurangan dan kelemahan, sebab sudah menjadi bagian dari suratan takdir
bahwa manusia adalah makhluk yang lemah bisa benar dan biasa salah. Demikian
juga adanya dengan penafsiran al-Qur’an yang meskipun landasan penafsirannya
adalah untuk menemukan saripatih dari perkataan Yang Maha Benar secara mutlak
namun dilakukan oleh manusia, maka pasti akan terdapat kelemahan. Dan diantara
kelemahan penafsiran al-Qur’an melalui pendekatan fiqhi adalah :
1. Tafsir fiqhi cenderung terjebak
pada fanatik mazhaby sehingga memunculkan sikap ortodoksi, pembelaan dan
pembenaran terhadap madzhab tertentu dan menafikan keabsahan mazhab-mazhab
lainnya. Sikap ini terwariskan kepada berpulu-puluh generasi hingga saat ini.
2. Tafsir fiqhi melakukan reduksi
pada satu aspek tertentu dari al-Qur’an (penafsiran parsial) padahal al-Qur’an
meliputi akidah dan syariah, konsep dan sistem, teori dan praktek yang
membutuhkan pemahaman dan penafsiran secara universal.
3. Tafsir fiqhi lebih
mengedepankan penafsiran al-Qur’an dengan menghubungkannya pada konteks sosial
tertentu dan cenderung mengabaikan nilai-nilai universal hukum-hukum yang
terdapat di dalam al-Qur’an (rahmatan li al-’alamin). Sebab tidak semua
bentuk permasalahan yang telah terjawab pada masa lampau masih berlaku pada
masa sekarang, sehingga dibutuhkan penafsiran terhadap ayat-ayat hukum
al-Qur’an yang sesuai dengan kebutuhan zaman saat ini tanpa menafikan
kerja-kerja yang bersifat analogi terhadap masa lampau dan berusaha untuk tidak
terjebak pada perbedaan teoritis mazhaby.
III.
PENUTUP
Adanya corak tafsir fiqhi ini menambah kekayaan khazanah tafsir
yang dimiliki oleh umat Islam. Semakin banyaknya umat Islam yang berusaha untuk
menafsirkan al-Qur’an dengan berbagai metode dan coraknya hal itu membuktikan
bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi pedoman umat Islam dalam segala
aspek kehidupan. Dengan demikian maka semakin bertambah yakinlah kita terhadap
kitab yang ditegaskan oleh Allah bahwa tidak ada keraguan padanya (al-Qur’an).
Daftar
Pustaka
Hasby Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu
Al-Qur'an Media-media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur'an, Bulan Bintang, Cet
III, Jakarta 1993
Dr. Hasan Hanafi, Manahij at-Tafsir wa
Mashalih al-Ummah, diterjemahkan oleh:
Yudian Wahyudi dengan judul, Metode
Tafsir dan Kemaslahatan Umat, (Cet.
I; Yogyakarta: Nawesea, 2007)
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta:
Pustaka Literatur AntarNusa, 2009. Hlm. 517-518.
Drs.H.Ahmad Syadali, M.A-Drs.H.Ahmad
Rofi’I. Ulumul Qur’an II, CV.Pustaka Setia.Bandung:1997.
Rosihan Anwar, Samudera Al-Qur'an, Pustaka Setia, Cet
I, Bandung, 2001.