1)
Pemikiran
tentang Al-Qur’an
Dawam
mengatakan bahwa al-Qur’an yang dewasa ini merupakan kompilasi ayat-ayat
atau wahyu Allah, adalah sebuah kitab
atau buku yang berisikan petunjuk yang
langsung berasal dari Allah.Untuk memperoleh petunjuk tersebut, salah
satu caranya menurut Dawam adalah dengan membaca al-Qur’an. Petunjuk yang akan
diberikan Allah tidak secara mendetail berkaitan dengan masalah kongkrit yang dihadapi manusia, tetapi al-Qur’an hanya memberikan
pedoman umum, tergantung kemampuan manusia untuk menganalisa permasalahannya sendiri berdasarkan petunjuk umum yang berbentuk
pedoman moral.[1]
Sedangkan al-Qur’an yang berfungsi sebagai bayan terkait
dengan suatu petunjuk, Dawam sangat sependapat dengan
sebagian besar ulama yang mengatakan bahwa al-Qur’an selalu
menjelaskan dirinya sendiri. Misalnya di dalam al-Qur’an terdapat suatu kata
kunci, seperti taqwa, hanif, amanah atau yang lain, bisa jadi
ayat selanjutnya atau ayat pada surah lain yang memberikan penjelasannya.
Sebagai contoh, arti hanifdalam al-Qur’an cukup banyak dijelaskan,
misalnya dalam surah al-Baqarah ayat 135, kata hanif dimaknai
dengan lurus. Penjelasan makna lurus tersebut
dapat ditemukan pada ayat 136 pada surah al-Baqarah, yang berbunyi:
Katakanlah
(hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang
diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya,
dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan
kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun
diantara mereka dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya".
Ayat
di atas menjelaskan makna manusia yang hanif, di mana ayat 135
menjelaskan ciri negatifnya, sedangkan ayat 136 menjelaskan makna positifnya. Dari aspek negatifnya, ciri
orang hanif adalah mereka yang tidak menganut agama Yahudi dan Nasrani, bukan pula menyembah berhala (ayat 135).Sedangkan dari sisi
positifnya, orang yang hanif adalah
mereka yang beriman dan tunduk hanya kepada Allah dan percaya terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada
nabi-Nya.[2] Tetapi,
tatkalaajaran yang diturunkan Allah kepada nabi-Nya dirasuki kemusyrikan, maka tidak ada lagi pengakuan atau
penghargaan terhadap mereka.
Contoh
lain, misalnya ayat dijelaskan oleh ayat selanjutnya atau ayat dijelaskan oleh
ayat pada surah lain tentang konsep taqwa. Pada surah al-Baqarah
ayat 2, dijumpai istilah muttaqin, yang berarti orang
bertaqwa.Untuk menjelasakan lebih lanjut tentang kualitas orang yang bertaqwa, dapat dilihat pada ayat selanjutnya yaitu
ayat 3-5. Sedangkan tanda-tanda
orang yang bertaqwa, dapat ditemukan pada surah Ali Imran ayat
134-135, dengan indikator orang-orang yang: a) membelanjakan hartanya (untuk
kepentingan umum) pada waktu lapang dan sempit, b) yang mampu menahan marah, c)
suka member maaf kepada manusia, dan d) yang apabila berbuat tidak senonoh atau
berbuat dzalim kepada dirinya sendiri, lalu ingat kepada Allah serta memohon
ampun atas dosanya.[3]
Contoh
di atas membuktikan al-Qur’an seringkali menjelaskan dirinya sendiri, baik pada
ayat setelahnya atau ayat pada surah lain, namun seringkali seseorang tidak
menyadari, bahwa al-Qur’an sudah memberikan definisi yang jelas
tentang konsep yang dimunculkannya. Oleh karena itu, cara yang terbaik untuk
memahami atau menafsirkan al-Qur’an adalah mencari penjelasan menurut al-Qur’an
itu sendiri, setelah itu barulah dicarikan tafsir yang relevan dengannya.
Adapun
mengenai al-Qur’an sebagai pembeda antara yang benar dan salah, Dawam
berpendapat bahwa tolok ukur kedua hal tersebut tidak berwujud seperti sebuah definisi, melainkan hanya suatu penjelasan (al-bayan)
sehingga seseorang dapat membedakannya dengan baik.Terkait dengan hal itulah,
Dawam berpendapat perlunya sebuah tafsir untuk memahami al-Qur’an, agar
diperoleh penjelasan tentang sesuatu yang baik atau buruk, sesuatu yang benar
atau salah, dan atau beberapa pembeda/petunjuk yang lainnya.
Selain
itu, Dawam juga mengemukakan beberapa hal penting terkait pemaknaan
al-Qur’an.Misalnya, Dawam menganggap al-Qur’an sebagai sumber nilai.[4] Dia
juga berpendapat bahwa al-Qur’an adalah wahyu
Allah yang merupakan petunjuk (hudan), dan rahmat bagi semua manusia,
bukan hanya untuk nabi, auliya Allah atau ulama saja, tetapi
untuk semua yang mau bersungguh-sungguh mendapakatnya.[5]
2)
Tafsir
dan Takwil
Secara implisit, Dawam
mengartikan tafsir sebagai cara untuk memahami
ayat al-Qur’an secara mendalam dengan melakukan analisa.[6] Pengkajian yang dilakukan harus menggunakan metode
tertentu, misalnya menjelaskan ayat al-Qur’an berdasarkan
ayat al-Qur’an itu sendiri, atau lebih
populer disebut Dawam tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an.
Salah satu
gagasan Dawam yang bisa dinilai cukup berani adalah komentarnya seputar kriteria
orang yang berhak dalam menafsirkan al-Qur’an. Menurutnya, semua orang dapat
memahami atau menafsirkan berdasarkan kemampuan yang ia miliki, sebab salah
satu keistimewaan al-Qur’an adalah
ayat-ayatnya bisa dipahami oleh manusia dari berbagai tingkat
berpikir. Makna yang lebih mendalam bisa didapat oleh orang yang memiliki
tingkat berpikir lebih cerdas atau lebih berkembang. Pada sisi lain, terdapat
pula cara untuk membaca dan memahami al-Qur’an bagi mereka yang tidak menguasai
bahasa Arab. Ini dilakukan melalui terjemahan al-Qur’an.Terjemahan adalah bagian
dari metode memahami al-Qur’an.[7]
Dawam menyadari
bahwa seorang mufasir harus mengetahui ilmu nahw dansharf, namun itu
saja belum cukup.Seseorang yang mampu berbahasa
Arab –bahkan orang Arab sendiri– belum tentu bisa memahami al-Qur’an
secara tepat dan baik, jika hatinya sudah menolak terlebih dahulu.Oleh karena
itu, antara hati dan ilmu yang dimiliki haruslah padu, agar dapat menyingkap
kandungan al-Qur’an dengan baik danbenar.
Bagi mereka yang ingin menafsirkan ayat al-Qur’an, namun tidak menguasai
ilmu bahasa Arab secara baik, maka dapat dilakukan dengan alat bantu seperti komputer atau bertanya kepada
orang yang lebih paham tentang kebahasaan. Melalui cara itu,
seseorang dapat memahami isi kandungan al-Qur’an menurut kadar keilmuan
dan keahlian yang dia miliki.
Dawam sangat tidak sependapat
dengan sejumlah ulama tafsir yang “menghambat” para cendikiawan muslim untuk
menafsirkan al-Qur’an. Bentuk hambatan tersebut adalah menetapkan sejumlah
syarat pokok untuk menjadi seorang mufasir yang sangat sulit untuk
dipenuhi. Padahal menurut Dawam, orang
yang membuat syarat tersebut seringkali tidak berbuat sesuatu yang dapat mempermudah orang awam mengakses al-Qur’an.Sementara
orang yang merasa telah memenuhi syarat, tidak berbuat apa-apa atau tidak mampu
menyajikan tafsir yang memuaskan dan mudah dicerna oleh masyarakat umum.Kondisi
ini mengakibatkan tidak atau kurang berkembangnya ilmu tafsir, bahkan lebih
dari itu, minat terhadap ilmu tafsir sangat minim belakangan ini.
Terlepas dari
kemungkinan munculnya kontroversi dari pendapat atau argumentasinya di atas,
yang jelas penulis hanya ingin melihat sisi baiknya yaitu adanya usaha Dawam untuk memotivasi lahirnya generasi mufasir atau menumbuhkan minat masyarakat awam
untuk memahami isi kandungan al-Qur’an.Dalam memahami atau
menafsirkan al-Qur’an, ada beberapa metode yang dapat digunakan, dan salah
satunya yang menjadi pilihan Dawam adalah metode penafsiran tematik/maudhu’i. Metode
tematik memiliki tiga macam titik tolak, yaitu: bertolak dari konsep ilmu-ilmu
sosial dan budaya atau filsafat sosial; bertolak dari istilah-istilah dalam
al-Qur’an sendiri; dan bertolak dari istilah-istilah dan pengertian yang timbul
dari ilmu-ilmu keislaman tradisional. Dari ketiga titik tolak tersebut, Dawam
menggunakan titik tolak yang kedua yaitu bertolak dari istilah-istilah dalam
al-Qur’an sendiri.
Pilihan Dawam menggunakan titik
tolak tersebut didasarkan pada asumsinya bahwa berbagai istilah dalam al-Qur’an
itu bersifat padat makna. Sebagai contoh adalah istilah taqwa,
ternyata istilah itu dalam al-Qur’an sangat sarat makna, misalnya islam,
ihsan, amanah, dan shabr. Pendekatan inilah yang pernah
dilakukan Dawam dalam jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an dalam
rubrik Ensiklopedi al-Qur’an, dan hingga diterbitkan buku Ensiklopedinya telah
memuat 27 entri tematis.[8] Jika
dibaca dan dipahami hasil penafsiran Dawam dalam buku Ensiklopedi al-Qur’an,
cukup jelas penafsirannya sangat banyak dipengaruhi oleh disiplin ilmu yang ia
kuasai, yaitu ilmu sosial budaya. Bahkan
secara terang-terangan ia menulis seruan membudayakan nilai-nilai
al-Qur’an dalam konteks Indonesia.
Satu hal penting yang tidak bisa
diabaikan adalah pemahaman Dawam terhadap surah al-Fatihah. Menurut
hipotesisnya, bahwa: (1) Tujuh ayat dalam surah al-Fatihah itu dijelaskan
secara berulang-ulang dalam seluruh isi al-Qur’an, (2) al-Qur’an sebenarnya
berintikan atau intisarinya tercakup dalam al-Fatihah, atau (3) Isi al-Qur’an
seluruhnya menjelaskan tujuh ayat dalam surah al-Fatihah, sehingga (4) Tujuh
ayat dalam surah al-Fatihah itu membagi habis kandungan al-Qur’an, atau seluruh
kandungan al-Qur’an dapat dibagi habis oleh tujuh ayat dalam surah al-Fatihah,
dan karena itu, (5) al-Fatihah disebut Qur’an yang agung karena al-Fatihah adalah al-Qur’an in a nutshell (al-Qur’an
dalamesensi).[9]
Tidak berhenti pada hipotesis di
atas, Dawam berusaha untuk membuktikan dugaannya tersebut. Kendatipun tidak
begitu jelas hasil pembuktiannya tersebut, namun dari hasil pencariannya
terhadap ber-bagai istilah kunci, dia menjumpai beberapa kata yang berkaitan
satu sama lain, seperti amal shalih, birr, ihsan dan berbagai
istilah lainnya yang ternyata berkaitan. Berdasarkan kenyataan itu, ia
berkesimpulan bahwa ayat-ayat al-Qur’an merupakan bangunan-bangunan yang satu bagian berhubungan dengan bagian yang lain,
sehingga membentuk suatu sistem pengertian[10] yang
utuh. Untuk mendapatkan sistem pengertian yang utuh dalam al-Qur’an, sangat
diperlukan usaha sunguh-sungguh dalam menafsirkannya oleh semua kalangan yang
memiliki kemampuan dan kepedulian terhadapnya.
Pembahasan
secara khusus tentang ta’wil, tidak ditemukan dalam buku atau tulisan
Dawam.Namun, pemahamannya terkait dengan ayat yang dita’wilkan, bisa dilihat
pada komentarnya tentang kata “setan” yang diinformasikan dalam Kitab Genesis
atau Kitab Kejadian dengan al-Qur’an. Dalam Kitab Genesis: 3, dijelaskan
sebagai berikut:
“Kini ular itu lebih licin dari
binatang liar apapun yang telah di-ciptakan Tuhan.Ia berkata kepada perempuan
itu: “Apakah Tuhan berkata ‘Engkau tidak boleh memakan buah dari satu pohon pun
di taman ini?’.” Dan perempuan itu
menjawab kepada sang ular, “Kami boleh
memakan buah dari pohon mana pun di taman ini; tetapi Tuhan berkata
‘Engkau tidak boleh memakan buah dari pohon yang paling di tengah itu, dan juga
engaku tidak boleh menyentuhnya, karena engkau akan mati’.” Namun ular berkata
kepada perempuan itu: “Engkau tidak akan mati. Karena Tuhan tahu bahwa jika
engkau memakannya, matamu akan terbuka dan engkau akan seperti Tuhan,
mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk”. Maka ketika perempuan itu tahu
bahwa pohon itu baik untuk makanan dan menyenangkan mata memandangnya, dan
pohon itu dibutuhkan oleh manusia agar
bias menjadi bijak, perempuan itu pun mengambil buah itu dan
memakannya: dan ia juga memberikannya kepada suaminya dan ia pun memakannya.
Kemudian mata kedua orang itu pun terbuka, dan keduanya menyadari bahwa mereka
itu telanjang bulat; dan mereka pun merangkai daun sebagai pakaian”.
Sedangkan dalam al-Qur’an surah
al-Baqarah ayat 34-36, Allah SWT menginformasikannya sebagai berikut:
Artinya: “Dan (Ingatlah) ketika
kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah
kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia
enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. Dan kami berfirman: "Hai Adam, diami-lah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah
makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang
menyebabkan kamu termasuk orang
yang zalim. Lalu keduanya digelincirkanoleh syaitan dari surga itu dan
dikeluarkan dari keadaan semula dan
kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh
bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup
sampai waktu yang ditentukan."
Berdasarkan
kedua sumber di atas, Dawam mengomentari masalah “setan” sebagai berikut:
a. Dalam al-Qur’an
sama sekali tidak disebutkan ular sebagai pen-jelmaan dari iblis.
b. Setan tidak
membisikkan nasehat yang menyesatkan kepada Hawa saja, melainkan kepada Adam
dan isterinya, bahkan tanpa menyebut nama Hawa (Eva), seperti yang sering
didengar dalam cerita. Dalam ayat itu tidak disebutkan keterangan mengenai
pohon yang dilarang untuk didekati, yang dalam Perjanjian Lama disebut sebagai
“pohon pengetahuan mengenai kebaikan dan keburukan”. Keterangan mengenai pohon
itu terdapat dalam al-Qur’an surah
Thaha/20: 120, disebut sebagai “pohon kekekalan dan kekuasaan yang
tidak pernah rusak”.[11]
Dari
komentarnya di atas, dapat dipahami kecenderungan Dawam bahwa dia kurang sependapat
jika setan dita’wilkan sebagai ular yang merupakan jelmaan dari iblis seperti
yang diinformasikan dalam Bibel.Dawam membedakan arti setan dan iblis,
karena iblis berasal dari kata balasa yang
berarti putus asa, atau ablasa yang berarti dihukum, diam dan
menyesal.Sedangkan setan berasal dari kata syathana yang
berarti merenggang, menjauh atau yang amat jauh.Walau demikian, keduanya tetap identik, hanya saja yang membedakannya pada
fungsi.Iblis adalah dorongan yang
berasal dari dalam diri manusia sendiri, sedangkan setan merupakan
arus yang berasal dari luar. Dengan kata lain, iblis bersifat internal,
sedangkan setan bersifat eksternal.[12]
Berdasarkan penjelasan di atas,
tampaknya tidak ada perbedaan antara penta’wilan dan penafsiran yang dilakukan
Dawam. Oleh karena itu, penulis menilai bahwa ta’wil dan tafsir yang digunakan
Dawam dalam memahami al-Qur’an tidak ada perbedaan atau sama.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan pemahaman Dawam tentang al-Qur’an, tafsir dan
ta’wil sebagai berikut:
1.Al-Qur’an
adalah wahyu Allah yang merupakan
petunjuk (hudan), dan rahmat bagi semua manusia, bukan hanya
untuk nabi, auliya Allah atau ulama saja, tetapi untuk semua
yang mau bersungguh-sungguh mendapakatnya. Selain itu, al-Qur’an
merupakan bayan yang menjadi penjelas bagi setiap petunjuk
yang diberikan Allah, dan petunjuk itu merupakan kriteria atau tolok ukur untuk menilai segala sesuatu, terutama untuk
membedakan antara yang benar dan
salah, yang buruk dan baik, yang seronok dan yang indah.
2.Tafsir adalah cara untuk memahami ayat al-Qur’an
secara mendalam dengan melakukan analisa. Pengkajian atau analisa yang
dilakukan harus menggunakan metode tertentu, misalnya menjelaskan ayat
al-Qur’an berdasarkan ayat al-Qur’an itu
sendiri.
3.Ta’wil
tidak diartikan secara jelas oleh Dawam, namun jika dilihat dalam penggunaannya
pada beberapa ayat, tampaknya ta’wil sama arti dan fungsinya dengan tafsir.
Namun secara implisit, dalam pemahaman Dawam, ta’wil adalah sesuatu yang
dijelaskan, namun tidak
bertentangan dengan al-Qur’an dan akal sehat manusia.
[1]M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci,
(Jakarta: PT. Temprint, 1996), hlm. xvii.
[7]Ibid.
[12]Ibid.
Salam, dalam konteks AHAD pada Allah adakah ianya bermaksud SATU atau ESA?. Sekiranya AHAD pada Allah bermaksud SATU bermaana Allah ada bilangan dan menyerupai makhluk. Sedangkan secara nyatanya Allah tiada sebarang bandingan.
Adakah ‘La illa Ha’ itu bermaksud tiada tuhan atau ada maksud lainnya? Sekiranya benar bermaksud tiada tuhan, kenapa disamakan Allah dengan Tuhan? BUKAN TUHAN ITU TIDAK WUJUD yang wujud itu SEMATA-MATA ALLAH...kenapa tidak dibuang saja sebutan tuhan yang tidak membawa sebarang maana bagi mentauhidkan Allah.
Jika dalam syahadah tauhid kita MENAFIKAN TUHAN...‘TIADA TUHAN’ kenapa ketika berdoa disebut ‘YA ALLAH YA TUHANKU’ tidakkah itu sama tahapnya dengan menyengutukan Allah dengan tuhan?
Alangkah hipokratnya umat islam dimana pada suatu tempat dikatakan jika membandingkan Allah dengan sesuatu itu dianggap SYIRIK pada suatu ketika pula perkara yang SYIRIK itu dijadikan amalan.
Saya nasihatkan diri saya sendiri, pada saudara admin dan pada seluruh umat islam yang dirahmati Allah agar tidak menggunakan sebutan tuhan bagi mengantikan Allah dan jangan sekali maksudkan RABBI atau RABB sebagai tuhan...RABB itu bermaksu PENTADBIR, PENGUASA atau juga PENCIPTA.
TUHAN ITU ADALAH ALIHBAHASA BAHASA ENGRIS KE BAHASA MELAYU Indonesia, Malaysia, Selatan Siam, Selatan Filipina, Selatan Champa, Selatan Kambodia, Singapura dan Berunai.
Sepekara lagi ‘Jangan sekali-lagi membandingkan perkara ghaib yg belum diketahui, terutamnya perkara tentang Jannah dan Jahannam’ sebagaimana kata Al Quran ‘di Jannah dan di Jahannam tiada sebarang bandingan dunia’ agar tidak terpesong akidah dengan sebutan bidadari syurga, susu, arak, madu dsbnya. Begitu juga dengan makhluk yg tidak berjisim atu bersifat nyata dng menyebut ‘Malaikat bersayap’ brkahwin dng jin dabnya.
Posting Komentar