Recent Posts

TAFSIR FIQHI


I.         PENDAHULUAN
Tafsir Fiqhi sering disebut dengan tafsir ahkam atau tafsir ayatil ahkam yaitu tafsir Al Qur’an yang beraliran Fiqih atau hukum atau tafsir yang dalam penafsirannya banyak difokuskan pada bidang hukum kadang-kadang dalam hal ini yang ditafsirkan hanya ayat-ayat Al Qur’an yang menyangkut soal hukum saja, sedangkan pada ayat yang lain tidak memuat hukum fiqih tidak ditafsirkan atau tidak dimuat.[1]
Dapat di pahami bahwa kedudukan Nabi Muhammad SAW terhadap al-Qur'an sudah jelas beliau ditugaskan menafsiran al-Qur'an kepada para sahabatnya di samping menyampaikan seluruh informasi kewahyuan kepada mereka.[2] Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam salah satu firmannya: 

”Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Tidak dapat di ragukan bahwa ayat tersebut di atas menunjukan adanya penjelasan Rasulullah di satu sisi itu merupakan tafsir. Ketika para sahabat kesulitan memahami suatu ayat mereka langsung menanyakannya kepada Nabi. Dengan demikian sebenarnya Tafsir al- Qur'an telah tumbuh di masa Nabi SAW sendiri dan beliaulah permulaan penafsir (Al-Mufassir Al-Awwal) bagi kitab Allah. Beliau menerangkan maksud-maksud wahyu yang di turunkan kepadanya. Sahabat-sahabat Rasulullah tidak ada yang berani menafsirkan al-Qur'an ketika Rasul masih hidup. Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan al-Qur'an.[3]
Al-Qur'an meliputi hukum-hukum yang berkenaan dengan kemaslahatan manusia di dunia dan di ahirat. Kaum muslimin memahami  ayat-ayat hukum sesuai dengan bahasa arab yang mereka fahami. Jika menghadapi kesulitan, mereka dengan mudah menanyakan dan mengkompromikan penafsiran yang benar kepada Rasulullah SAW.
Penafsiran al-Qur'an setelah Rasulullah wafat dirasakan sangat perlu ketika terjadi kasus-kasus hukum yang sebelumnya tidak pernah ada di zaman Rasul. Maka segera diperlukan istinbath hukum dari al-Qur'an, jika tidak ada penjelasan hukumnya dalam al-Qur'an maka segera dicari penjelasanya dalam hadis. Jika dalam hadis pun tidak ada ada penjelasan hukumnya, segera dilakukan ijtihad. Para sahabat tidak selamanya sepakat atas hasil istinbath hukum dikalangan mereka, mereka pun kadang-kadang berbeda pendapat, walaupun dalam kasus yang sama. Keadaan seperti ini terus berlanjut hingga lahirnya mazhab-mazhab hukum. Pada masa ini banyak kasus-kasus hukum yang timbul dan tidak pernah di jumpai sebelumnya. maka lahirlah tafsir yang di tulis oleh masing –masing madzhab hukum .
Ketika tiba masa empat imam Fiqih dan setiap imam membuat dasar-dasar istinbath hukum masing-masing dalam mazhabnya serta berbagai peristiwa semakin banyak dan persoalan pun menjadi bercabang-cabang, maka semakin bertambah pula aspek aspek perbedan pendapat dalam memahami ayat, hal ini di sebabkan perbedaan dari segi dalalahnya, bukan karena fanatisme suatu mazhab melainkan karena setiap ahli Fiqih berpegang kepada apa yang dipandangnya benar. Karena itu ia tidak memandang dirinya hina jika ia mengetahui kebenaran pada pihak lain untuk merujuk kepadanya.[4]
Di dalam perkembangan selanjutnya, masing-masing imam mazhab tersebut mempunyai banyak pengikut. Sebagian dari mereka ini ada yang sangat fanatik, yang menatap ayat-ayat dengan kacamata mazhab semata, lalu menafsirkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan pandangan mazhab. Namun, sebagian dari mereka itu ada pula yang obyektif, yang melihat ayat dengan kacamata yang bebas dari tendensi dan kepentingan mazhab, mereka menafsirkan ayat-ayat seperti apa adanya sesuai dengan kesan nalar mereka.[5]

II.      PEMBAHASAN
A.    Karya-karya tafsir fiqh
1.    Ahkamul Qur’an oleh Al-Jassas (terbit),
2.    Ahkamul Qur’an oleh Al-Kaya Al-Haras (manuskrip),
3.    Ahamul Qur’an  Ibnul ‘Arabi (terbit),
4.    Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, oleh Al-Qurtubi (terbit),
5.    Al-Iklil fi Istinbatit Tanzil, oleh As-Suyuti (manuskrip),
6.    At-Tafsiratul Ahmadiyah fi Bayanil Ayatisi Syar’iyah oleh Mula Geon (terbit di India),
7.    Tafsiru Ayatil Ahkam, oleh Syaikh Muhammad As-Sayis (terbit),
8.    Tafsiru Ayatil Ahkam, oleh Syaikh Manna’ al-Qattan (terbit), dan
9.    Adwa’ul Bayan, oleh Syaikh Muhammad Asy-Syinqiti (terbit).
Berikut ini akan dipaparkan beberapa tokoh mufassir yang menggunakan corak tafsir fiqhi beserta sedikit ulasan mengenai karya tafsirnya.
a.         Ahkamul Qur’an, oleh Al-Jassas.
Nama aslinya adalah Abu Bakar Ahmad bin Ali ar-Razi, yang terkenal dengan panggilan Al-Jassas (tukang plester). Dinisbahkan pada pekerjaan al-jass (memlester). Ia adalah seorang imam fikih Hanafi pada abad keempat Hijriyah. Dan kitabnya Ahkamul Qur’an dipandang sebagai kitab tafsir fikqhi terpenting, terutama bagi pengikut mazhab hanafi.[6] Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an terutama yang berkaitan dengan urusan fikih beliau tentunya berpegang pada pendapat dari imam Hanafi.
Dalam kitab tafsirnya beliau membatasi diri hanya membahas masalah-masalah furu’ (cabang). Dalam menafsirkan ayat al-Qur’an beliau memaparkan satu atau beberapa ayat, kemudian menjelaskan maknanya dengan atsar dan memaparkan masalah fikih yang berhubungan, baik hubungan itu dekat maupun jauh, serta mengemukakan berbagai perbedaan pendapat antar mazhab. Sehingga membaca kitab ini seolah-olah kita sedang membaca kitab fikih bukan kitab tafsir.
Dalam tafsirnya nampak jelas bahwa al-Jassas menganut paham mu’tazilah. Misalnya ia mengatakan mengenai firman Allah, ia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata (al-An’am [6]:103); makna ayat ini ialah: Ia tidak dapat dilihat oleh penglihatan mata. Ini merupakan pujian dengan peniadaan penglihatan mata. Ini merupakan pujian dengan peniadaan penglihatan mata, seperti firman-Nya: ...tidak mengantuk dan tidak tidur... (al-Baqarah [2]:255). Apa yang ditiadakan Allah untuk memuji diri-Nya maka penetapan kebalikannya adalah celaan dan penghinaan, karena itu tidak diperkenankan menetapkan kebalikan tersebut, oleh karena itu memuji-Nya dengan peniadaan dari-Nya penglihatan mata, maka menetapkan kebalikannya tidak diperkenankan karena hal demikian berarti menetapkan sifat aib dan kurang (bagi-Nya).
Kitab al-Jassas telah diterbitkan dalam 3 jilid dan beredar luas di kalangan ahli ilmu karena ia merupakan rujukan fikih Hanafi.[7] Maka tidak diragukan lagi setiap orang yang merujuk pada fikih Hanafi mesti telah membaca karya beliau yang cukup penting ini.
b.             Ahkamul Qur’an, oleh Ibn ‘Arabi.
Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Mu’afiri al-Andalusi al-Isybili adalah salah seorang ulama Andalusia yang luas ilmunya bermazhab Maliki. Kitabnya Ahkamul Qur’an merupakan rujukan terpenting bagi tafsir fikih kalangan pengikut Maliki.[8]
Didalam tafsirnya Ibnu ‘Arabi adalah seorang adil dan moderat, tidak terlalu fanatik kepada mazhab dan tidak kasar dalam menyanggah pendapat lawan-lawannya sebgaimana dilakukan al-Jassas, meskipun demikian ia tidak memperhatikan setiap kesalahan ilmiah yang keluar dari mujtahid maliki.
Ia menyebutkan berbagai pendapat ulama dalam menafsirkan ayat dengan membatasi pada ayat-ayat hukum, dan menjelaskan berbagai kemungkinan makna ayat bagi mazhab lain serta memisahkan setiap ponit permasalahan dalam menafsirkan ayat dengan judul tertentu.[9]
Berbeda dengan al-Jassas yang cenderung mengkritik mazhab lain dengan keras, Ibn ‘Arabi cenderung lebih sopan dalam mengkritik pendapat dari mazhab lain yang tidak sependapat dengannya. Karena yang dibahas adalah masalah furu’ maka keaneka ragaman pendapat tidak bisa dihindarkan.
Sebagai contoh penafsiran beliau adalah sebagai berikut:

“wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu....” (Al-Maidah [5]:6)
Ibn ‘Arabi berkata:  Masalah kesebelas adalah firman-Nya “faghsilu” (basuhlah). Asy-Syafi’i mengira, yaitu menurut sahabatnya Ma’d bin ‘Adnan didalam al-Fasahah, apalagi Abu Hanifah dan lainnya, bahwa membasuh adalah menuangkan air pada sesuatu yang dibasuh tanpa menggosok-gosok. Kami telah menjelaskan rusaknya pendapat ini dalam masalah-masalah khilafiyah dan di dalam tafsir surat an-Nisa. Kami telah menyatakan bahwa “membasuh” adalah menyentuhkan tangan atau benda (anggota badan) lain sebagai penggantinya dengan mengalirkan air.[10]  
Ibn ‘Arabi berpegang pada bahasa dalam mengistinbathkan hukum dalam kitab tafsirnya. Ia juga meninggalkan cerita-cerita isra’iliyat dan mengkritik hadis-hadis dha’if serta berhati-hati dengannya.
Kitab tafsir milik Ibn ‘Arabi ini telah diterbitkan beberapa kali. Diantaranya ada yang dicetak dalam dua jilid besar dan ada pula yang dicetak empat jilid. Kitab itu telah beredar luas di kalangan para ulama.[11]
c.              Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, oleh Abu Abdullah Al-Qurtubi.
Adalah Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi seorang ulama ternama di kalangan Maliki. Karyanya cukup banyak dan paling mashur adalah kitab tafsirnya:Al-Jami’li Ahkam Al-Qur’an
Di dalam tafsirnya ini Al-Qurtubi tidak membatasi kajianya pada ayat-ayat hukum saja., tetapi konprehensif. Metodologi tafsirnya adalah; menyebutkan asbabun nuzul (sebab-sebab turunya ayat), mengemukakan ragam Qira’at dan I’rab, menjelaskan lafazh-lafazh yang gharib (asing), melacak dan menghubungkan berbagai pendapat kepada sumbernya, menyediakan paragraph khusus bagi kisah para mufassir dan berita-berita dari para ahli sejarah, mengutip dari para ulama terdahulu yang dapat dipercaya, khususnya penulis kitab hukum.Misalnya, ia mengutip dari ibnu Jarir Ath-Thabari. Ibnu ‘Athiyah, Ibnu Arabi, Alkiya Harrasiy dan Abu baker Al-Jasshash.
Al-Qurtubi sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia mengetengahkan masalah-masalah khilafiyah, hujjah bagi setiap pendapat lalu mengomentarinya. Dia tidak fanatik  madzhab. Contohnya saat menafsirkan firman Allah,

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa dengan istri-istri kamu..........,”(Al-Baqarah:187)
Dalam masalah kedua belas dari masalah yang terkandung dalam ayat ini, sesudah mengemukakan perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum orang yang akan makan siang hari dibulan Ramadhan karena lupa, dan mengutip pendapat Imam Malik, ynag mengatakan batal dan wajib mengqadha ; Ia mengatakan, “Menurut pendapat selain Imam Malik, tidaklah dipandang batal setiap orang yang makan karena lupa akan puasanya, dan jumhur pun berpendapt sama bahwa barang siapa makan atau minum karena lupa, ia tidak wajib mengqadha’nya. Dan puasanya tetap sempurna. Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Hurairah, katanya, Rasulullah bersabda, “jika seseorang sedang berpuasa lalu makan atau minum karena lupa, maka yang demikian adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan ia tidak wajib mengqadha’nya,”
Dari kutipan ini kita melihat, dengan pendapat yang dikemukakannya itu Al-Qurtubi tidak lagi sejalan dengan madzhabnya sendiri, ia berlaku adil terhadap madzhab lain.
          Al-Qurtubi juga melakukan konfrontasi terhadap sejumlah golongan lain. misalnya, ia menyanggah kaum Mu’tazilah, Qadariyah, Syi’ah Rafidhah, para filosof dan kaum sufi ynag ekstrim. Tetapi dilakukan dengan bahasa yang halus. Dan di dorong oleh rasa keadilan, kadang-kadang ia pun membela orang-orang yang di serang oleh ibn ‘Arabi dan mencelanya karena ungkapan-ungkapannya yang kasar dan keras terhadap ulama. Dan jika perlu mengkritik, maka kritikannya pun bersih serta dilakukan dengan cara sopan dan terhormat.
          Kitab Al-Jami’Li Ahkam Al-Qur’an ini pernah hilang dari perpustakaan, hingga akhirnya Dar Al-Kutub Al-Mishiriyah mecetaknya kembali. Kini bagi para pembaca mudah untuk memperolehnya.
B.  Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Fiqhi

1.    Kelebihan Tafsir Fiqhi
Meskipun peluang terjadinya perbedaan pendapat dalam melakukan penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi sangatlah besar, namun penafsiran lewat pendekatan ini memiliki bebarapa kelebihan, diantaranya :
a.    Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum syari’at yang terdapat dalam al-Qur’an, hal ini menjadi titik tolak pemahaman umat bahwa sesungguhnya al-Qur’an tidak hanya menjelaskan tentang aspek yang bersifat transenden dan metafisik (aqidah), akan tetapi ia juga menjelaskan tentang aspek-aspek syari’ah, disisi lain juga memberitahukan bahwa syari’ah atau hukum bukan semata-mata merupakan produk fuqaha’ akan tetapi telah menjadi bagian dari nash-nash al-Qur’an bahkan lebih dominan yang mampu mengatur tatanan hidup manusia baik individu maupun sosial.
b.    Upaya untuk memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan untuk mempermudah manusia dalam mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang termaktub di dalam al-Qur’an setelah terjebak ke dalam perbedaan mazhab dogmatis serius yang bersifat teoritis.
c.    Tafsir al-Qur’an dengan pendekatan fiqhi meskipun memberikan peluang terjadinya perbedaan pemahaman terhadap teks-teks Quraniyyah tetap memberikan sumbangsih pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan hukum dalam kehidupan baik individu maupun sosial tetap harus tunduk kepada al-Musyarri’ al-Awwal (Allah) melalui kalam-Nya yang mulia kemudian kepada pembawa wahyu dan risalah yang kemudian dikenal sebagai al-musyarri’ ats-Tsany ba’da Allah (Rasulullah Saw) melalui Sunnah beliau demi kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
d.   Tafsir fiqhi berusaha untuk membumikan al-Qur’an lewat pemahaman ayat-ayat qauliyah kepada ayat-ayat kauniyyah guna meberikan penyadaran, pemberdayaan dan advokasi terhadap permasalahan kehidupan manusia.
e.    Tafsir fiqhi kendatipun beragam tetap memberikan kekayaan bagi khazanah intelektual muslim dunia, sebab tanpa adanya penafsiran al-Qur’an dalam bentuk ini, maka umat Islam secara khusus dan manusia secara umum akan kehilangan akar hukum dan perundang-undangan yang sesungguhnya.
2.    Kelemahan Tafsir Fiqhi
Hasil olah pikir manusia biasa tidak akan pernah lepas dari berbagai macam bentuk kekurangan dan kelemahan, sebab sudah menjadi bagian dari suratan takdir bahwa manusia adalah makhluk yang lemah bisa benar dan biasa salah. Demikian juga adanya dengan penafsiran al-Qur’an yang meskipun landasan penafsirannya adalah untuk menemukan saripatih dari perkataan Yang Maha Benar secara mutlak namun dilakukan oleh manusia, maka pasti akan terdapat kelemahan. Dan diantara kelemahan penafsiran al-Qur’an melalui pendekatan fiqhi adalah :
1.    Tafsir fiqhi cenderung terjebak pada fanatik mazhaby sehingga memunculkan sikap ortodoksi, pembelaan dan pembenaran terhadap madzhab tertentu dan menafikan keabsahan mazhab-mazhab lainnya. Sikap ini terwariskan kepada berpulu-puluh generasi hingga saat ini.
2.    Tafsir fiqhi melakukan reduksi pada satu aspek tertentu dari al-Qur’an (penafsiran parsial) padahal al-Qur’an meliputi akidah dan syariah, konsep dan sistem, teori dan praktek  yang membutuhkan pemahaman dan penafsiran secara universal.
3.    Tafsir fiqhi lebih mengedepankan penafsiran al-Qur’an dengan menghubungkannya pada konteks sosial tertentu dan cenderung mengabaikan nilai-nilai universal hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an (rahmatan li al-’alamin). Sebab tidak semua bentuk permasalahan yang telah terjawab pada masa lampau masih berlaku pada masa sekarang, sehingga dibutuhkan penafsiran terhadap ayat-ayat hukum al-Qur’an yang sesuai dengan kebutuhan zaman saat ini tanpa menafikan kerja-kerja yang bersifat analogi terhadap masa lampau dan berusaha untuk tidak terjebak pada perbedaan teoritis mazhaby.[12]
III.   PENUTUP
Adanya corak tafsir fiqhi ini menambah kekayaan khazanah tafsir yang dimiliki oleh umat Islam. Semakin banyaknya umat Islam yang berusaha untuk menafsirkan al-Qur’an dengan berbagai metode dan coraknya hal itu membuktikan bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi pedoman umat Islam dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian maka semakin bertambah yakinlah kita terhadap kitab yang ditegaskan oleh Allah bahwa tidak ada keraguan padanya (al-Qur’an).









Daftar Pustaka
Hasby Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur'an Media-media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur'an, Bulan Bintang, Cet III, Jakarta 1993
Dr. Hasan Hanafi, Manahij at-Tafsir wa Mashalih al-Ummah, diterjemahkan oleh: Yudian Wahyudi dengan judul, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, (Cet. I; Yogyakarta: Nawesea, 2007)
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Literatur AntarNusa, 2009. Hlm. 517-518.
Drs.H.Ahmad Syadali, M.A-Drs.H.Ahmad Rofi’I. Ulumul Qur’an II, CV.Pustaka Setia.Bandung:1997.
Rosihan Anwar,  Samudera Al-Qur'an, Pustaka Setia, Cet I, Bandung, 2001.


[1] Drs.H.Ahmad Syadali, M.A-Drs.H.Ahmad Rofi’I. Ulumul Qur’an II, CV.Pustaka Setia.Bandung:1997.
[2] Rosihan Anwar, " Samudera Al-Qur'an ", Pustaka Setia, Cet I, Bandung, 2001
[3] Hasby Ash Shiddieqy, "Ilmu-Ilmu Al-Qur'an Media-media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur'an ",Bulan Bintang, Cet III, Jakarta 1993.
[4] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Literatur AntarNusa, 2009. Hlm. 517
[5] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, ............. Hlm. 517
[6] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, ............. Hlm. 517-518.
[7] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.........., hlm. 519
[8] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.........., hlm. 519
[9] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.........., hlm. 519
[10] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.........., hlm. 519-520.
[11] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.........., hlm. 520
[12] Dr. Hasan Hanafi, Manahij at-Tafsir wa Mashalih al-Ummah, diterjemahkan oleh: Yudian Wahyudi dengan judul, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, (Cet. I; Yogyakarta: Nawesea, 2007)

Text Widget

Total Pageviews

Categories

Blogger Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

About Me

Foto Saya
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

mari berteman