Recent Posts

TAKWA MEMBERI SOLUSI SETIAP MASALAH



Setiap manusia memiliki masalah dalam hidupnya. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Jalan keluar kadang bisa didapat dengan mudah tapi tidak jarang harus melalui perjuangan yang sedikit berat.
Banyak cara dilakukan untuk mendapatkan solusi dari setiap permasalahan, bisa dengan cara bertukar pendapat dengan teman, meminta nasihat orang bijak dan lain sebagainya. Namun jika berbagai cara sudah dilakukan namun solusi tidak kunjung tiba, ada salah satu cara yang sudah terpatri kurang lebih 14 abad yang lalu dalam sebuah kitab suci umat Islam yakni al-Qur’an al-Karim.
Allah berfirman dalam surat at-Thalaq ayat 2 dan 4.      
......... (At-Thalaq: 2)وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا     
........ (At-Thalaq: 4)وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah jadikan untuknya jalan keluar” {ath-Thalaq (65): 2}
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah jadikan urusannya mudah” {ath-Thalaq (65): 4}
Perintah bertakwa tidak hanya menjadikan seorang hamba dekat dengan Tuhan-nya. Tapi banyak hal yang bisa didapatkan dari implementasi takwa. Salah satu diantaranya adalah diberikannya solusi dan kemudahan atas setiap masalah.
Dalam tafsir at-Qurtubi Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “niscaya Allah jadikan untuknya jalan keluar” adalah Allah menyelamatkannya dari segala kesusahan baik di dunia maupun di akhirat. Ar-Rabi’ berkata bahwa yang dimaksud adalah jalan keluar dari segala sesuatu yang menyusahkan manusia. Al-Kilabi menjelaskan “barang siapa bertakwa kepada Allah” dengan cara bersabar atas musibah “niscaya Allah jadikan untuknya jalan keluar” dari api neraka menuju surga. Al-Husain al-Fadhl menjelaskan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah dengan menjalankan setiap kewajiban kepada-Nya, niscaya Allah akan menolongnya dari hukuman. Muqatil menjelaskan bahwa barang siapa yang bertakwa kepada Allah dengan menjauhi perbuatan maksiat maka Allah akan memberi kemudahan pada setiap urusannya dengan pemberian hidayah agar ta’at kepada Allah.
As-Sa’adi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan memberi kemudahan dalam urusannya. Maksudnya adalah barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan selalu memudahkan setiap urusannya dan memberi kemudahan dalan setiap kesulitan yang dihadapi.
Dengan merenungi kanduangan kedua ayat ini nampaklah bagi kita bahwa jika selama ini masalah yang kita hadapi sering tidak menemukan jalan keluar atau setiap urusan yang kita hadapi selalu diiringi dengan berbagai kesulitan, maka sudah saatnya kita introspeksi diri (muhasabah) sudah sejauh mana ketakwaan kita kepada-Nya.
Jangan berharap masalah bisa teratasi dan kesulitan bisa dilalui jika ketakwaan dalam diri masih jauh panggang dari api. Dengan meningkatkan ketakwaan maka kita telah memudahkan setiap urusan yang akan dihadapi.
Wallahu a’lamu bish-shawab

MENJAGA LISAN

Setiap untaian kata yang keluar dari lisan seseorang adalah cerminan dari kondisi hatinya. Jika sedang bahagia maka kata-kata syukur dan senang akan keluar melalui lisannya. Namun ketika sedang dirundung banyak masalah seribu keluh kesah akan keluar dari lisan sebagai gambaran dari isi hati si mpunya. Setiap kata yang kita ucapkan tentu akan mendapat respon dari pendengarnya. Adakalanya orang senang mendengar kita berbicara namun tidak jarang setiap kata yang terucap menyebabkan sebuah pertikaian bahkan perang. Hal itu tentunya menjadi sebuah renungan bagi kita untuk senantiasa menjaga lisan agar tidak sampai menyakiti orang lain. Dalam Islam perintah menjaga lisan ini tertuang pada salah satu sabda Rasulullah SAW: عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراً أو ليصمت , ومن كان يوم بالله واليوم الاخر فليكرم جاره , ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم ضيفه Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”. [Bukhari no. 6018, Muslim no. 47] Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”, maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanannya itu) menyelamatkannya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah : “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya”.(QS. Al Isra’ : 36) dan firman-Nya: “Apapun kata yang terucap pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS. Qaff : 18) Bahaya lisan itu sangat banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda: “Bukankah manusia terjerumus ke dalam neraka karena tidak dapat mengendalikan lidahnya”. Beliau juga bersabda : “Tiap ucapan anak Adam menjadi tanggung jawabnya, kecuali menyebut nama Allah, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran”. Barang siapa memahami hal ini dan beriman kepada-Nya dengan keimanan yang sungguh-sungguh, maka Allah akan memelihara lidahnya sehingga dia tidak akan berkata kecuali perkataan yang baik atau diam. Sebagian ulama berkata: “Seluruh adab yang baik itu bersumber pada empat Hadits, antara lain adalah Hadits “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. Sebagian ulama memaknakan Hadits ini dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka jika yang ia katakan itu baik lagi benar, dia diberi pahala. Oleh karena itu, ia mengatakan hal yang baik itu. Jika tidak, hendaklah dia menahan diri, baik perkataan itu hukumnya haram, makruh, atau mubah”. Dalam hal ini maka perkataan yang mubah diperintahkan untuk ditinggalkan atau dianjurkan untuk dijauhi Karena takut terjerumus kepada yang haram atau makruh dan seringkali hal semacam inilah yang banyak terjadi pada manusia. Allah berfirman : “Apapun kata yang terucapkan pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS.Qaaf : 18) Para ulama berbeda pendapat, apakah semua yang diucapkan manusia itu dicatat oleh malaikat, sekalipun hal itu mubah, ataukah tidak dicatat kecuali perkataan yang akan memperoleh pahala atau siksa. Ibnu ‘Abbas dan lain-lain mengikuti pendapat yang kedua. Menurut pendapat ini maka ayat di atas berlaku khusus, yaitu pada setiap perkataan yang diucapkan seseorang yang berakibat orang tersebut mendapat pembalasan. Sebagai seorang muslim yang berusaha menyempurnakan keimanannya mari kita senantiasa menjaga lisan sebagai sarana menyelamatkan diri dari kebinasaan dan menyelamatkan orang lain dari jahatnya lisan yang tidak terjaga. Wallahu a’lam bish-shawab

KEUTAMAAN PENUNTUT ILMU


     Firman Allah Ta’ala Q.S. az-Zumar: 9 (Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?") mengaskan bahwa berilmu dan tidak berilmu berbeda dalam segala hal.
Ø  Firman Allah Ta’ala Q.S. al-Mujadalah: 11 (Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat) mengaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu dengan memberikannya kemuliaan. Kemuliaan yang diberikan Allah adalah kemuliaan yang bersifat hakiki, berbeda dengan kemuliaan yang diberikan oleh manusia. Karena kemuliaan semacam itu bersifat nisbi, sebagai contoh seorang yang mendapat kemuliaan karena memiliki jabatan tinggi akan hilang kemuliaannya seiring dengan kepergian jabatan itu darinya.
Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ulama (orang berilmu) memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan mukmin (orang beriman) sebanyak 700 derajat.
Ø  Firman Allah Ta’ala Q.S. Fathir: 28 (Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama) menjelaskan bahwa ulama adalah hamba Allah yang paling takut kepada Allah disbanding hamba-hamba-Nya yang lain.
Ø  Dalam firman Allah Q.S. al-Maidah: 4 ("Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu) mengaskan adanya perbedaan antara hewan yang terlatih (diberi ilmu) dengan yang tidak. Dengan demikian kemuliaan ilmu tidak hanya mengangkat derajat manusia tetapi hewan sekalipun akan terangkat dengannya.

“...ilmu itu jika melekat pada sesuatu maka sesuatu itu akan menjadi mulia…”

REFLEKSI NATAL DAN TAHUN BARU

“Masuklah Islam, maka anda akan selamat (aslim taslam). Namun jika anda menolak anda akan mendapat dosa 2 x lipat”. Begitulah begitulah surat-surat Nabi SAW yang dikirim kepada Heraclius Kaisar Romawi Timur. Kepada Kaisar Persia Ebrewez surat Nabi SAW berbunyi sama dengan tambahan “...jika anda menolak maka bagi anda dosa seluruh kaum Majusyi”.

Kepada Kaisar Ethiopia Najasyi berbeda lagi. Surat Nabi SAW berbunyi: “Aku ajak Anda kepada Allah yang Esa yang tiada sekutu bagi-Nya... dan mempercayai apa yang aku bawa”

Kepada penguasa Mesir Muqauqis juga demikian “masuklah Islam Anda akan selamat... agar Allah memberi pahala 2 x lipat. Jika Anda menolak, Anda akan menanggung dosa bangsa Qibti”. (dikutip dari buku Misykat karangan Hamid Fahmi Zarkasyi)

Itulah surat-surat yang ditujukan oleh sang revolusioner Muhammad SAW kepada penguasa2 yang hidup sezaman dengan beliau. Tanpa ada paksaan, ancaman bahkan intimidasi yang berujung peperangan, sebagai agama yang membawa keselamatan bagi semesta alam,, tentu menyebarkan agama Islam menjadi hal yang mutlak dilaksanakan,, demi tercapainya cita2 agama Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin..,

Masalahnya....

Sudah berapa kepala,, non muslim yang kita Islamkan...??

Sudah adakah usaha untuk mewujudkannya..??

Sudah adakah niatan untuk melakukan...??



BERILMU DAN BERAKHLAK MULIA

Jepang maju karena ilmu, Amerika menjadi negara adikuasa juga karena kontribusi para ilmuwan yang dimiliki negara itu, jika kita kembali menengok ke belakang, agama Islam pernah berjaya dan hampir menguasai sepertiga permukaan bumi juga karena ilmu pengetahuan yang berkembang pesat pada masa itu.
Pentingnya menguasai ilmu pengetahuan juga pernah diingatkan oleh Nabi SAW, bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban yang mengikat bagi setiap muslim. Tentu Nabi juga selalu memotivasi umatnya untuk mencintai ilmu dengan membeberkan kelebihan dan keunggulan orang yang memiliki ilmu pengetahuan baik keunggulan yang didapat di dunia maupun di akhirat.
Namun ilmu yang dimiliki oleh seorang muslim haruslah diiringi dengan akhlak mulia karena salah satu tugas kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak umat manusia. Tentu Rasulullah SAW bukanlah seorang manusia satu-satunya yang memiliki akhlak mulia, telah banyak pendahulunya yang lebih dulu menanamkan akhlak mulia bahkan lukman al-hakim yang bukan seorang Nabi, terukir namanya didalam al-Qur’an tak lain karena kemuliaan akhlak dan keluhuran budinya. Sehingga Nabi SAW berusaha menanamkan kembali keluhuran budi pekerti dan kemuliaan akhlak serta menyempurnakannya kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini.
Jika kita melihat kenyataan di negeri kita sekarang ini bukanlah ketiadaan orang-orang yang berilmu sebagai penyebab tidak majunya negara ini. Justru ilmuwan-ilmuwan dari negeri kita bahkan bisa bersaing dan meraih kesuksesan di negeri yang berpredikat negara maju dengan segudang ilmuwan yang dimiliki.
Rusaknya moral dan hilangnya akhlak mulia adalah penyebab terbesar ketidak berdayaan negeri kita dalam persaingan global dewasa ini. Banyak orang-orang pintar yang dengan kepintarannya malah mencari-cari cara untuk menguntungkan pribadi dan kelompoknya tanpa berpikir dampak dari perbuatannya yang merugikan seluruh rakyat Indonesia. Contohnya korupsi, yang sudah menjadi amalan harian kata pak Musyro Muqaddas (eks ketua KPK). Betapa besar kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan orang-orang pintar yang satu ini. Bahkan semakin turunnya nilai rupiah juga salah satu penyebabnya tidak tertanganinya kasus-kasus korupsi yang melanda bangsa ini.

Pendidikan yang baik tentunya tidak memisahkan ilmu umum dan ilmu agama yang bukan saja menambah wawasan tapi juga membentuk akhlak mulia pada setiap orang yang ditempanya. Sekarang marilah kita kembali kepada ajaran Nabi SAW untuk menuntut ilmu dengan serius dan tekun serta memperbaiki akhlak kita agar dengan ilmu yang kita miliki bisa memberikan manfaat kebaikan bagi orang-orang di sekitar kita.

TAFSIR FIQHI


I.         PENDAHULUAN
Tafsir Fiqhi sering disebut dengan tafsir ahkam atau tafsir ayatil ahkam yaitu tafsir Al Qur’an yang beraliran Fiqih atau hukum atau tafsir yang dalam penafsirannya banyak difokuskan pada bidang hukum kadang-kadang dalam hal ini yang ditafsirkan hanya ayat-ayat Al Qur’an yang menyangkut soal hukum saja, sedangkan pada ayat yang lain tidak memuat hukum fiqih tidak ditafsirkan atau tidak dimuat.[1]
Dapat di pahami bahwa kedudukan Nabi Muhammad SAW terhadap al-Qur'an sudah jelas beliau ditugaskan menafsiran al-Qur'an kepada para sahabatnya di samping menyampaikan seluruh informasi kewahyuan kepada mereka.[2] Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam salah satu firmannya: 

”Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Tidak dapat di ragukan bahwa ayat tersebut di atas menunjukan adanya penjelasan Rasulullah di satu sisi itu merupakan tafsir. Ketika para sahabat kesulitan memahami suatu ayat mereka langsung menanyakannya kepada Nabi. Dengan demikian sebenarnya Tafsir al- Qur'an telah tumbuh di masa Nabi SAW sendiri dan beliaulah permulaan penafsir (Al-Mufassir Al-Awwal) bagi kitab Allah. Beliau menerangkan maksud-maksud wahyu yang di turunkan kepadanya. Sahabat-sahabat Rasulullah tidak ada yang berani menafsirkan al-Qur'an ketika Rasul masih hidup. Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan al-Qur'an.[3]
Al-Qur'an meliputi hukum-hukum yang berkenaan dengan kemaslahatan manusia di dunia dan di ahirat. Kaum muslimin memahami  ayat-ayat hukum sesuai dengan bahasa arab yang mereka fahami. Jika menghadapi kesulitan, mereka dengan mudah menanyakan dan mengkompromikan penafsiran yang benar kepada Rasulullah SAW.
Penafsiran al-Qur'an setelah Rasulullah wafat dirasakan sangat perlu ketika terjadi kasus-kasus hukum yang sebelumnya tidak pernah ada di zaman Rasul. Maka segera diperlukan istinbath hukum dari al-Qur'an, jika tidak ada penjelasan hukumnya dalam al-Qur'an maka segera dicari penjelasanya dalam hadis. Jika dalam hadis pun tidak ada ada penjelasan hukumnya, segera dilakukan ijtihad. Para sahabat tidak selamanya sepakat atas hasil istinbath hukum dikalangan mereka, mereka pun kadang-kadang berbeda pendapat, walaupun dalam kasus yang sama. Keadaan seperti ini terus berlanjut hingga lahirnya mazhab-mazhab hukum. Pada masa ini banyak kasus-kasus hukum yang timbul dan tidak pernah di jumpai sebelumnya. maka lahirlah tafsir yang di tulis oleh masing –masing madzhab hukum .
Ketika tiba masa empat imam Fiqih dan setiap imam membuat dasar-dasar istinbath hukum masing-masing dalam mazhabnya serta berbagai peristiwa semakin banyak dan persoalan pun menjadi bercabang-cabang, maka semakin bertambah pula aspek aspek perbedan pendapat dalam memahami ayat, hal ini di sebabkan perbedaan dari segi dalalahnya, bukan karena fanatisme suatu mazhab melainkan karena setiap ahli Fiqih berpegang kepada apa yang dipandangnya benar. Karena itu ia tidak memandang dirinya hina jika ia mengetahui kebenaran pada pihak lain untuk merujuk kepadanya.[4]
Di dalam perkembangan selanjutnya, masing-masing imam mazhab tersebut mempunyai banyak pengikut. Sebagian dari mereka ini ada yang sangat fanatik, yang menatap ayat-ayat dengan kacamata mazhab semata, lalu menafsirkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan pandangan mazhab. Namun, sebagian dari mereka itu ada pula yang obyektif, yang melihat ayat dengan kacamata yang bebas dari tendensi dan kepentingan mazhab, mereka menafsirkan ayat-ayat seperti apa adanya sesuai dengan kesan nalar mereka.[5]

II.      PEMBAHASAN
A.    Karya-karya tafsir fiqh
1.    Ahkamul Qur’an oleh Al-Jassas (terbit),
2.    Ahkamul Qur’an oleh Al-Kaya Al-Haras (manuskrip),
3.    Ahamul Qur’an  Ibnul ‘Arabi (terbit),
4.    Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, oleh Al-Qurtubi (terbit),
5.    Al-Iklil fi Istinbatit Tanzil, oleh As-Suyuti (manuskrip),
6.    At-Tafsiratul Ahmadiyah fi Bayanil Ayatisi Syar’iyah oleh Mula Geon (terbit di India),
7.    Tafsiru Ayatil Ahkam, oleh Syaikh Muhammad As-Sayis (terbit),
8.    Tafsiru Ayatil Ahkam, oleh Syaikh Manna’ al-Qattan (terbit), dan
9.    Adwa’ul Bayan, oleh Syaikh Muhammad Asy-Syinqiti (terbit).
Berikut ini akan dipaparkan beberapa tokoh mufassir yang menggunakan corak tafsir fiqhi beserta sedikit ulasan mengenai karya tafsirnya.
a.         Ahkamul Qur’an, oleh Al-Jassas.
Nama aslinya adalah Abu Bakar Ahmad bin Ali ar-Razi, yang terkenal dengan panggilan Al-Jassas (tukang plester). Dinisbahkan pada pekerjaan al-jass (memlester). Ia adalah seorang imam fikih Hanafi pada abad keempat Hijriyah. Dan kitabnya Ahkamul Qur’an dipandang sebagai kitab tafsir fikqhi terpenting, terutama bagi pengikut mazhab hanafi.[6] Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an terutama yang berkaitan dengan urusan fikih beliau tentunya berpegang pada pendapat dari imam Hanafi.
Dalam kitab tafsirnya beliau membatasi diri hanya membahas masalah-masalah furu’ (cabang). Dalam menafsirkan ayat al-Qur’an beliau memaparkan satu atau beberapa ayat, kemudian menjelaskan maknanya dengan atsar dan memaparkan masalah fikih yang berhubungan, baik hubungan itu dekat maupun jauh, serta mengemukakan berbagai perbedaan pendapat antar mazhab. Sehingga membaca kitab ini seolah-olah kita sedang membaca kitab fikih bukan kitab tafsir.
Dalam tafsirnya nampak jelas bahwa al-Jassas menganut paham mu’tazilah. Misalnya ia mengatakan mengenai firman Allah, ia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata (al-An’am [6]:103); makna ayat ini ialah: Ia tidak dapat dilihat oleh penglihatan mata. Ini merupakan pujian dengan peniadaan penglihatan mata. Ini merupakan pujian dengan peniadaan penglihatan mata, seperti firman-Nya: ...tidak mengantuk dan tidak tidur... (al-Baqarah [2]:255). Apa yang ditiadakan Allah untuk memuji diri-Nya maka penetapan kebalikannya adalah celaan dan penghinaan, karena itu tidak diperkenankan menetapkan kebalikan tersebut, oleh karena itu memuji-Nya dengan peniadaan dari-Nya penglihatan mata, maka menetapkan kebalikannya tidak diperkenankan karena hal demikian berarti menetapkan sifat aib dan kurang (bagi-Nya).
Kitab al-Jassas telah diterbitkan dalam 3 jilid dan beredar luas di kalangan ahli ilmu karena ia merupakan rujukan fikih Hanafi.[7] Maka tidak diragukan lagi setiap orang yang merujuk pada fikih Hanafi mesti telah membaca karya beliau yang cukup penting ini.
b.             Ahkamul Qur’an, oleh Ibn ‘Arabi.
Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Mu’afiri al-Andalusi al-Isybili adalah salah seorang ulama Andalusia yang luas ilmunya bermazhab Maliki. Kitabnya Ahkamul Qur’an merupakan rujukan terpenting bagi tafsir fikih kalangan pengikut Maliki.[8]
Didalam tafsirnya Ibnu ‘Arabi adalah seorang adil dan moderat, tidak terlalu fanatik kepada mazhab dan tidak kasar dalam menyanggah pendapat lawan-lawannya sebgaimana dilakukan al-Jassas, meskipun demikian ia tidak memperhatikan setiap kesalahan ilmiah yang keluar dari mujtahid maliki.
Ia menyebutkan berbagai pendapat ulama dalam menafsirkan ayat dengan membatasi pada ayat-ayat hukum, dan menjelaskan berbagai kemungkinan makna ayat bagi mazhab lain serta memisahkan setiap ponit permasalahan dalam menafsirkan ayat dengan judul tertentu.[9]
Berbeda dengan al-Jassas yang cenderung mengkritik mazhab lain dengan keras, Ibn ‘Arabi cenderung lebih sopan dalam mengkritik pendapat dari mazhab lain yang tidak sependapat dengannya. Karena yang dibahas adalah masalah furu’ maka keaneka ragaman pendapat tidak bisa dihindarkan.
Sebagai contoh penafsiran beliau adalah sebagai berikut:

“wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu....” (Al-Maidah [5]:6)
Ibn ‘Arabi berkata:  Masalah kesebelas adalah firman-Nya “faghsilu” (basuhlah). Asy-Syafi’i mengira, yaitu menurut sahabatnya Ma’d bin ‘Adnan didalam al-Fasahah, apalagi Abu Hanifah dan lainnya, bahwa membasuh adalah menuangkan air pada sesuatu yang dibasuh tanpa menggosok-gosok. Kami telah menjelaskan rusaknya pendapat ini dalam masalah-masalah khilafiyah dan di dalam tafsir surat an-Nisa. Kami telah menyatakan bahwa “membasuh” adalah menyentuhkan tangan atau benda (anggota badan) lain sebagai penggantinya dengan mengalirkan air.[10]  
Ibn ‘Arabi berpegang pada bahasa dalam mengistinbathkan hukum dalam kitab tafsirnya. Ia juga meninggalkan cerita-cerita isra’iliyat dan mengkritik hadis-hadis dha’if serta berhati-hati dengannya.
Kitab tafsir milik Ibn ‘Arabi ini telah diterbitkan beberapa kali. Diantaranya ada yang dicetak dalam dua jilid besar dan ada pula yang dicetak empat jilid. Kitab itu telah beredar luas di kalangan para ulama.[11]
c.              Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, oleh Abu Abdullah Al-Qurtubi.
Adalah Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi seorang ulama ternama di kalangan Maliki. Karyanya cukup banyak dan paling mashur adalah kitab tafsirnya:Al-Jami’li Ahkam Al-Qur’an
Di dalam tafsirnya ini Al-Qurtubi tidak membatasi kajianya pada ayat-ayat hukum saja., tetapi konprehensif. Metodologi tafsirnya adalah; menyebutkan asbabun nuzul (sebab-sebab turunya ayat), mengemukakan ragam Qira’at dan I’rab, menjelaskan lafazh-lafazh yang gharib (asing), melacak dan menghubungkan berbagai pendapat kepada sumbernya, menyediakan paragraph khusus bagi kisah para mufassir dan berita-berita dari para ahli sejarah, mengutip dari para ulama terdahulu yang dapat dipercaya, khususnya penulis kitab hukum.Misalnya, ia mengutip dari ibnu Jarir Ath-Thabari. Ibnu ‘Athiyah, Ibnu Arabi, Alkiya Harrasiy dan Abu baker Al-Jasshash.
Al-Qurtubi sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia mengetengahkan masalah-masalah khilafiyah, hujjah bagi setiap pendapat lalu mengomentarinya. Dia tidak fanatik  madzhab. Contohnya saat menafsirkan firman Allah,

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa dengan istri-istri kamu..........,”(Al-Baqarah:187)
Dalam masalah kedua belas dari masalah yang terkandung dalam ayat ini, sesudah mengemukakan perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum orang yang akan makan siang hari dibulan Ramadhan karena lupa, dan mengutip pendapat Imam Malik, ynag mengatakan batal dan wajib mengqadha ; Ia mengatakan, “Menurut pendapat selain Imam Malik, tidaklah dipandang batal setiap orang yang makan karena lupa akan puasanya, dan jumhur pun berpendapt sama bahwa barang siapa makan atau minum karena lupa, ia tidak wajib mengqadha’nya. Dan puasanya tetap sempurna. Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Hurairah, katanya, Rasulullah bersabda, “jika seseorang sedang berpuasa lalu makan atau minum karena lupa, maka yang demikian adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan ia tidak wajib mengqadha’nya,”
Dari kutipan ini kita melihat, dengan pendapat yang dikemukakannya itu Al-Qurtubi tidak lagi sejalan dengan madzhabnya sendiri, ia berlaku adil terhadap madzhab lain.
          Al-Qurtubi juga melakukan konfrontasi terhadap sejumlah golongan lain. misalnya, ia menyanggah kaum Mu’tazilah, Qadariyah, Syi’ah Rafidhah, para filosof dan kaum sufi ynag ekstrim. Tetapi dilakukan dengan bahasa yang halus. Dan di dorong oleh rasa keadilan, kadang-kadang ia pun membela orang-orang yang di serang oleh ibn ‘Arabi dan mencelanya karena ungkapan-ungkapannya yang kasar dan keras terhadap ulama. Dan jika perlu mengkritik, maka kritikannya pun bersih serta dilakukan dengan cara sopan dan terhormat.
          Kitab Al-Jami’Li Ahkam Al-Qur’an ini pernah hilang dari perpustakaan, hingga akhirnya Dar Al-Kutub Al-Mishiriyah mecetaknya kembali. Kini bagi para pembaca mudah untuk memperolehnya.
B.  Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Fiqhi

1.    Kelebihan Tafsir Fiqhi
Meskipun peluang terjadinya perbedaan pendapat dalam melakukan penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi sangatlah besar, namun penafsiran lewat pendekatan ini memiliki bebarapa kelebihan, diantaranya :
a.    Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum syari’at yang terdapat dalam al-Qur’an, hal ini menjadi titik tolak pemahaman umat bahwa sesungguhnya al-Qur’an tidak hanya menjelaskan tentang aspek yang bersifat transenden dan metafisik (aqidah), akan tetapi ia juga menjelaskan tentang aspek-aspek syari’ah, disisi lain juga memberitahukan bahwa syari’ah atau hukum bukan semata-mata merupakan produk fuqaha’ akan tetapi telah menjadi bagian dari nash-nash al-Qur’an bahkan lebih dominan yang mampu mengatur tatanan hidup manusia baik individu maupun sosial.
b.    Upaya untuk memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan untuk mempermudah manusia dalam mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang termaktub di dalam al-Qur’an setelah terjebak ke dalam perbedaan mazhab dogmatis serius yang bersifat teoritis.
c.    Tafsir al-Qur’an dengan pendekatan fiqhi meskipun memberikan peluang terjadinya perbedaan pemahaman terhadap teks-teks Quraniyyah tetap memberikan sumbangsih pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan hukum dalam kehidupan baik individu maupun sosial tetap harus tunduk kepada al-Musyarri’ al-Awwal (Allah) melalui kalam-Nya yang mulia kemudian kepada pembawa wahyu dan risalah yang kemudian dikenal sebagai al-musyarri’ ats-Tsany ba’da Allah (Rasulullah Saw) melalui Sunnah beliau demi kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
d.   Tafsir fiqhi berusaha untuk membumikan al-Qur’an lewat pemahaman ayat-ayat qauliyah kepada ayat-ayat kauniyyah guna meberikan penyadaran, pemberdayaan dan advokasi terhadap permasalahan kehidupan manusia.
e.    Tafsir fiqhi kendatipun beragam tetap memberikan kekayaan bagi khazanah intelektual muslim dunia, sebab tanpa adanya penafsiran al-Qur’an dalam bentuk ini, maka umat Islam secara khusus dan manusia secara umum akan kehilangan akar hukum dan perundang-undangan yang sesungguhnya.
2.    Kelemahan Tafsir Fiqhi
Hasil olah pikir manusia biasa tidak akan pernah lepas dari berbagai macam bentuk kekurangan dan kelemahan, sebab sudah menjadi bagian dari suratan takdir bahwa manusia adalah makhluk yang lemah bisa benar dan biasa salah. Demikian juga adanya dengan penafsiran al-Qur’an yang meskipun landasan penafsirannya adalah untuk menemukan saripatih dari perkataan Yang Maha Benar secara mutlak namun dilakukan oleh manusia, maka pasti akan terdapat kelemahan. Dan diantara kelemahan penafsiran al-Qur’an melalui pendekatan fiqhi adalah :
1.    Tafsir fiqhi cenderung terjebak pada fanatik mazhaby sehingga memunculkan sikap ortodoksi, pembelaan dan pembenaran terhadap madzhab tertentu dan menafikan keabsahan mazhab-mazhab lainnya. Sikap ini terwariskan kepada berpulu-puluh generasi hingga saat ini.
2.    Tafsir fiqhi melakukan reduksi pada satu aspek tertentu dari al-Qur’an (penafsiran parsial) padahal al-Qur’an meliputi akidah dan syariah, konsep dan sistem, teori dan praktek  yang membutuhkan pemahaman dan penafsiran secara universal.
3.    Tafsir fiqhi lebih mengedepankan penafsiran al-Qur’an dengan menghubungkannya pada konteks sosial tertentu dan cenderung mengabaikan nilai-nilai universal hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an (rahmatan li al-’alamin). Sebab tidak semua bentuk permasalahan yang telah terjawab pada masa lampau masih berlaku pada masa sekarang, sehingga dibutuhkan penafsiran terhadap ayat-ayat hukum al-Qur’an yang sesuai dengan kebutuhan zaman saat ini tanpa menafikan kerja-kerja yang bersifat analogi terhadap masa lampau dan berusaha untuk tidak terjebak pada perbedaan teoritis mazhaby.[12]
III.   PENUTUP
Adanya corak tafsir fiqhi ini menambah kekayaan khazanah tafsir yang dimiliki oleh umat Islam. Semakin banyaknya umat Islam yang berusaha untuk menafsirkan al-Qur’an dengan berbagai metode dan coraknya hal itu membuktikan bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi pedoman umat Islam dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian maka semakin bertambah yakinlah kita terhadap kitab yang ditegaskan oleh Allah bahwa tidak ada keraguan padanya (al-Qur’an).









Daftar Pustaka
Hasby Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur'an Media-media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur'an, Bulan Bintang, Cet III, Jakarta 1993
Dr. Hasan Hanafi, Manahij at-Tafsir wa Mashalih al-Ummah, diterjemahkan oleh: Yudian Wahyudi dengan judul, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, (Cet. I; Yogyakarta: Nawesea, 2007)
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Literatur AntarNusa, 2009. Hlm. 517-518.
Drs.H.Ahmad Syadali, M.A-Drs.H.Ahmad Rofi’I. Ulumul Qur’an II, CV.Pustaka Setia.Bandung:1997.
Rosihan Anwar,  Samudera Al-Qur'an, Pustaka Setia, Cet I, Bandung, 2001.


[1] Drs.H.Ahmad Syadali, M.A-Drs.H.Ahmad Rofi’I. Ulumul Qur’an II, CV.Pustaka Setia.Bandung:1997.
[2] Rosihan Anwar, " Samudera Al-Qur'an ", Pustaka Setia, Cet I, Bandung, 2001
[3] Hasby Ash Shiddieqy, "Ilmu-Ilmu Al-Qur'an Media-media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur'an ",Bulan Bintang, Cet III, Jakarta 1993.
[4] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Literatur AntarNusa, 2009. Hlm. 517
[5] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, ............. Hlm. 517
[6] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, ............. Hlm. 517-518.
[7] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.........., hlm. 519
[8] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.........., hlm. 519
[9] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.........., hlm. 519
[10] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.........., hlm. 519-520.
[11] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.........., hlm. 520
[12] Dr. Hasan Hanafi, Manahij at-Tafsir wa Mashalih al-Ummah, diterjemahkan oleh: Yudian Wahyudi dengan judul, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, (Cet. I; Yogyakarta: Nawesea, 2007)

Text Widget

Total Pageviews

Categories

Blogger Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

About Me

Foto Saya
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

mari berteman