Recent Posts

mari kita senantiasa ingat kepada-Nya

ULIL AMRI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN DAN AS-SUNNAH



A.    oleh: Hudzaifaturrahman, Fikri al-Mubarok, Mad Rois, Firman Budi Satria, M Juwaini


Pendahuluan
Di dalam al-Hadits kami tidak menemukan hadits yang di dalamnya terdapat kata ulil amri, namun di dalam al-Hadits hanya hadits-hadits yang menerangkan tafsir dari ayat al-Qur’an saja. Sedangkan dalam  al-Qur’an, kata Ulil Amri hanya ditemukan di dua tempat saja, yaitu pada surat an-Nisa ayat 59 dan 83:

1.    An-Nisa(3):59

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
2.    An-Nisa(3):83ÇÑÌÈ
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah Karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”.
Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 59 memberitahukan kepada seluruh umat manusia di mana saja dan kapan saja hingga hari kiamat tentang kewajiban menaati tiga orang; Pertama, taat kepada Allah kemudian taat kepada Rasul-Nya dan terakhir taat kepada Ulil Amr. Pada bagian lain dari ayat ini telah dijelaskan rujukan kaum muslimin saat berselisih dan bersengketa, seakan-akan ayat ini sedang mencetuskan sebuah sistem peradilan independen; Allah berfirman, Jika kalian berselisih tentang sesuatu maka mintalah kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menghukumi dan jangan kalian bawa masalah itu kepada pihak asing (musuh Islam). Dengan memperhatikan adanya keimanan terhadap Allah dan hari kiamat, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa mereka yang tidak berlandaskan sumber-sumber Islam dalam menghakimi sesuatu maka pada hakikatnya mereka bukanlah orang-orang yang mukmin terhadap Allah dan hari kebangkitan tersebut.
B.     Penafsiran ulil amri
Berkenaan dengan tafsir Ulil Amr, terdapat pendapat yang beragam, berikut ini penjelasan pendapat-pendapat tersebut:
1.      Tafsir at-Thabari
Menurut at-Thabari, dia menyebutkan bahwa para ahli ta'wil berbeda pandangan mengenai arti ulil amri. Satu kelompok ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah umara. Berkata sebagian ulama lain, masih dalam kitab tafsir yang sama, bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan fiqh). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa sahabat-sahabat Rasulullah-lah yang dimaksud dengan ulil amri. Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar. (Lihat lebih jauh dalam Tafsir at-Thabari, juz 5, h. 147-149)

2.      Imam al-Mawardi
Ada empat pendapat dalam mengartikan kalimat "ulul amri" pada QS An-Nisa:59. Pertama, ulil amri bermakna umara (para pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin masalah keduniaan). Ini merupakan pendapat Ibn Abbas, as-Sady, dan Abu Hurairah serta Ibn Zaid. Imam al-Mawardi memberi catatan bahwa walaupun mereka mengartikannya dengan umara namun mereka berbeda pendapat dalam sabab nuzul turunnya ayat ini. Ibn Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Huzafah bin Qays as-Samhi ketika Rasul mengangkatnya menjadi pemimpin dalam sariyah (perang yang tidak diikuti oleh Rasulullah saw.). Sedangkan As-Sady berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Amr bin Yasir dan Khalid bin Walid ketika keduanya diangkat oleh Rasul sebagai pemimpin dalam sariyah. Kedua, ulil amri itu maknanya adalah ulama dan fuqaha. Ini menurut pendapat Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Atha, dan Abi al-Aliyah. Ketiga, Pendapat dari Mujahid yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw. Pendapat keempat, yang berasal dari Ikrimah, lebih menyempitkan makna ulil amri hanya kepada dua sahabat saja, yaitu Abu Bakar dan Umar. (Tafsir al-Mawardi, jilid 1, h. 499-500)

3.      Tafsir al-Maraghi
Ulil amri itu adalah umara, ahli hikmah, ulama, pemimpin pasukan dan seluruh pemimpin lainnya dan zuama yang manusia merujuk kepada mereka dalam hal kebutuhan dan kemaslahatan umum. Dalam halaman selanjutnya al-Maraghi juga menyebutkan contoh yang dimaksud dengan ulil amri ialah ahlul halli wal aqdi yang dipercaya oleh umat, seperti ulama, pemimpin militer dan pemimpin dalam kemaslahatan umum seperti pedagang, petani, buruh, wartawan dan sebagainya. (Tafsir al-Maraghi, juz 5, h. 72-73)

4.      Imam Fakhur Razi mencatat ada empat pendapat tentang makna ulil amri:

Pertama, makna ulil amri itu adalah khulafa ar-rasyidin. Kedua, pendapat lain mengatakan bahwa ulil amri bermakna pemimpin perang (sariyah). Ketiga, Ulil amri itu adalah ulama yang memberikan fatwa dalam hukum syara dan mengajarkan manusia tentang agama (islam). Keempat, dinukil dari kelompok rawafidh bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah imam-imam yang mashum. (Tafsir al-fakhr ar-Razi, juz 10, h. 144)
5.      Tafsir Ruh al-Maani, karya al-Alusi
Ada yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah pemimpin kaum muslimin (umara al-muslimin) pada masa Rasul dan sesudahnya. Mereka itu adalah para khalifah, sultan, qadhi (hakim) dan yang lainnya. Ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah pemimpin sariyah. Juga ada yang berpendapat bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi (cendekiawan). (Tafsir Ruh al-Maani, juz 5, h 65)

6.      Ibn Katsir, setelah mengutip sejumlah hadis mengenai makna ulil amri, menyimpulkan bahwa ulil amri itu adalah, menurut zhahirnya, ulama. Sedangkan secara umum ulil amri itu adalah umara dan ulama" (Tafsir al-Quran al-Azhim, juz 1, h. 518)

7.      Dr. Wahbah az-Zuhaili, ulama masa kini yang semasa dengan Dr. Yusuf Qardhawi, dalam kitab tafsirnya, at-Tafsir al-Munir, menyebutkan bahwa sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa makna ulil amri itu adalah ahli hikmah atau pemimpin perang. Sebagian lagi berpendapat bahwa ulil amri itu adalah ulama yang menjelaskan kepada manusia tentang hukum-hukum syara'. Sedangkan syiah, masih menurut Wahbah Az-Zuhaili, berpendapat bahwa ulil amri itu adalah imam-imam yang mashum. (at-Tafsir al-Munir, juz 5, h. 126). Dalam kitab ahkam al-Quran, Ibn al-arabi berkata: "yang benar dalam pandangan saya adalah ulil amri itu umara dan ulama semuanya". (Ahkam al-Quran, juz 1, h. 452).[1]

Dari beberapa penafsiran di atas maka dapat dikumpulkan makna dari ulil amri meliputi umara (para pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin masalah keduniaan), ahlul ilmi wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan fiqh), Sahabat-sahabat Rasulullah-lah sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar, ulama dan fuqaha (orang yang memberikan fatwa dalam hukum syara’ dan mengajarkan manusia tentang agama (islam),ahli hikmah, menurut kelompok Syiah imam-imam yang mashum, para khalifah, sultan, qadhi (hakim) dan yang lainnya.
C.     Kriteria Ulil Amri Menurut Islam
1.      Adil
2.      Mempunyai pengetahuan yang luas
3.      Sehat mental dan fisik
4.      Lengkap anggota badan
5.      Cepat mengambil keputusan pandai bersiyasat
6.      Pemberani
7.      Mempunyai keturunan yang baik[2]
D.    Kesimpulan
Dari sejumlah kitab tafsir yang dikutip di atas dapat diberikan catatan sebagai berikut: Para ulama berbeda pendapat mengenai makna ulil amri. Ada yang mencoba meluaskan makna ulil amri dengan semua ulama dan umara. Ada pula yang mencoba menyempitkannya dengan khusus pada Abu Bakar dan Umar semata. Ada yang hanya melihat pada ulama saja (ahlul ilmi) dan ada yang hanya berpegang pada arti pemimpin perang.

Sejumlah kitab tafsir, khususnya kitab tafsir klasik semisal Tafsir at-Thabari dan Ruh al-Maani, hanya menyebutkan contoh ulil amri itu pada jabatan atau profesi yang dipandang krusial pada masanya. Sedangkan Tafsir al-Maraghi, yang merupakan kitab tafsir yang ditulis pada abad 20 ini, menyebutkan contoh-contoh ulil amri itu tidak hanya berkisar pada ahlul hallii wal aqdi, ulama, pemimpin perang saja; tetapi juga memasukkan profesi wartawan, buruh, pedagang, petani ke dalam contoh ulil amri.

Sebagai catatan akhir, kita memang diperintah oleh Allah untuk taat kepada ulil amri (apapun pendapat yang kita pilih tentang makna ulil amri). Namun perlu diperhatikan bahwa perintah taat kepada ulil amri tidak digandengkan dengan kata "taat"; sebagaimana kata "taat" yang digandengkan dengan Allah dan Rasul (periksa redaksi QS an-Nisa: 59). Quraish Shihab, yang disebut-sebut sebagai mufassir Indonesia, memberi ulasan yang menarik: "Tidak disebutkannya kata "taat" pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Dalam hal ini dikenal kaidah yang sangat populer yaitu: "La thaata li makhluqin fi ma'shiyat al-Khaliq". Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah)."[3]


[1] file:///E:/ulill%20amr/makna%20ulilamri.html diakses 10 Maret 2012 jam 10.00 wib
[2] Khoirul Anam, Fikih Siyasah Dan Wacana Politik Kontemporer, (Yogyakarta: Ida Pustaka, 2009) hlm. 17-21
[3] file:///E:/ulill%20amr/makna%20ulilamri.html, diakses 10 Maret 2012 jam 10.00 wib

KENAPA SAHABAT SALING BERBEDA PENDAPAT DALAM MENGISTINBATH HUKUM


Meskipun sahabat memiliki kemampuan khusus dan tingkat pemahaman yang istimewa dalam memahami syari’at dan mengistinbath hukum, namun bukan berarti ini berlaku untuk semua. Akan tetapi, mereka juga berbeda-beda dalam hal tingkat pemahaman, sebab mereka juga manusia biasa yang memiliki perbedaan dan kelebihan masing-masing.
Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut:
1)      Perbedaan tingkat pemahaman terhadap bahasa. Ada orang yang paham dengan bahasanya sendiri, istilah-istilah asing yang ada dan cara pemakaiannya, tetapi ada juga yang tidak bisa. Misalnya, yang ditawarkan oleh Umar bin al-Khaththab ketika ia membaca firman Allah dalam khutbahnya, atau Allah akan mengadzab mereka disebabkan mereka menghina (takhawwufin), kemudian Umar bertanya kepada para hadirin tentang makna takhawwifin, “apa pendapat kalian tentang ayat ini dan apa arti takhawwuf itu?” Lalu berdirilah seseorang yang sudah lanjut usia dari kabilah Huzail dan berkata: “ ini bahasa kami dan takhawwuf artinya menghina (tanaqqush)”, Umar berkata, “apakah orang Arab tahu ini dalam sya’ir mereka?” Ia menjawab, “ya”, dan ia pun menyebutkan sebuah bait sya’ir untuk memperkuat ucapannya. Umar berkata: “Jagalah sya’ir kalian dan kalian tidak akan tersesat.” Para Sahabat bertanya: “Apa itu sya’ir (diwan) kami?” Umar menjawab: “Sya’ir Jahiliyah, sebab didalamnya ada penafsiran untuk kitab kalian.”
2)      Perbedaan sahabat dalam memahami asbabun nuzul ayat dan Sunnah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam hal pergaulan dengan Rasulullah selaku penyampai wahyu Allah maupun hadits. Sehingga semakin tinggi intensitas pergaulan seorang sahabat dengan Rasulullah maka akan semakin memebrikan kepahaman kepada dirirnya terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka tidaklah sama sahabat generasi pertama dengan generasi setelah mereka, dan tidak sama pula sahabat yang dekat dengan Rasulullah dengan sahabat yang jauh dari Rasulullah SAW.
3)      Perbedaan dari segi kapasitas individu sahabat itu sendiri. Yaitu perbedaan dari segi hafalan, pemahaman, mengeluarkan hukum (istinbâth), dan kemampuan menerjemahkan isyarat dari nash syariat. Cotohnya perbedaan sahabat dalam menafsirkan QS. Al-Maidah ayat 3, ada sebagian sahabat yang menafsirkannya sebagai pemebritahuan saja bahwa agama Islam memang agama yang paling sempurna, namun ada sahabat yang berbeda dalam menafsirkannya yaitu Umar Bin al-Khaththab. Beliau menafsirkan ayat tersebut sebagai tanda bahwa Rasulullah akan wafat.
4)      Perbedaan juga disebabkan adanya nash yang bersifat zhanni ad-dalalah (kandungan dalil yang masih belum pasti). Maksudnya adalah dalil yang memiliki makna lebih dari satu, sebagaimana firman Allah QS Al-Baqarah ayat 228. Dalam memahami lafal quru’ yang terdapat didalamnya para sahabat berbedada pendapat mengenai masa tunggu (iddah) wanita yang diceraikan suaminya apakah tiga kali bersih atau tiga kali haidh?
5)      Perbedaan juga disebabkan sunnah yang belum dibukukan. Belum ditulisnya sunnah dan dikumpulkannya dalam satu himpunan sehingga memudahkan setiap generasi setelah itu, menyebabkan masing-masing sahabat menghafal apa yang bisa ia hafal berdasarkan penglihatan langsung, atau dengan cara mendengar dari Nabi SAW, atau diberitahu oleh sahabat lain yang mendapatkannya dari Rasulullah SAW karena perbedaan keadaan.

IKHLAS KUNCI DITERIMANYA AMAL


 
Oleh: Mad Rois

وَمَنْ أَحْسَنُ دِيناً مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لله وَهُوَ مُحْسِنٌ واتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَاتَّخَذَ اللّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlash berserah diri kepada Allah, sedang ia mengerjakan kebaikan dan mengikuti agama Ibrahim yang lururs? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangannya[1].” An-Nisa (4): 125
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْه
Menceritakan kepada kami al-Humaidy ‘Abdullah bin Az-Zubair ia berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan ia berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id  al-Anshary ia berkata telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ibrahim at-Taimy bahwasanya ia mendengar ‘Alaqamah bin waqas al-Laitsy ia berkata aku mendengar Umar Bin al-Khaththab RA. diatas mimbar ia berkata: “aku telah mendengar RAsulullah saw. berasbda”: sesungguhnya, amalan-amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapat mendapatkan sesuai yang diniatkannya.  Barangsiapa yang niat hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya diterima oleh Allah dan Rasul-Nya; barangsiapa yang niat hijrahnya untuk dunia dan yang akan diperolehnya atau wanita yang yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu pun akan sampai kepada apa yang diniatkannya[2].” 
Ibnu Katsir menjelaskan mengenasi penafsiran ayat diatas bahwa amal yang paling murni karena Allah adalah amal yang didasarkan pada keimanan dan mengharap pahala dari Allah SWT. Dalam beramal ia mengikuti apa yang telah disyariatkan oleh Allah dan di sampaikan melalui perantara Rasul-Nya yakni berupa petuntuk dan agama yang benar (agama Islam).  Kedua persyaratan ini menjadi syarat sah seseorang dalam beramal yang jika salah satunya tidak terpenuhi maka amalnya menjadi tidak sah.
Seseorang yang beramal harus berlandaskan khalis dan shawab. Khalis artinya amal itu hanya karena Allah, dan shawab artinya mengikuti syari’at Allah. Yang dimaksud. Maka amalnya bisa dikatakan sah apabila secara zhahir dia mengikuti syari’at Allah dan secara bathin dengan ikhlas. Dengan demikian jika amalan seseorang tidak memenuhi kedua syarat tersebut amalannya dikatakan tidak sah. Ketika seseorang beramal tidak disertai dengan keikhlasan maka ia adalah termasuk orang munafik yaitu orang yang menampakkan amalannya dihadapan manusia. Dan ketika seseorang beramal tanpa mengikuti syari’at Allah maka amalannya sesat dan bodoh. Tetapi ketika ia beramal dengan keduanya maka itulah amalan orang yang beriman. (Sebagaimana firman Allah Q.S. Al-Ahqaf (46): 16.). kemudian Allah memerintahkan kita untuk mengikuti agama Ibrahim, yaitu Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya sampai hari kiamat. Sebagaimana firman Allah Q.S. Ali-Imran (3): 64), Q.S. An-Nahl (16): 123.[3]
Sababul wurud dari hadits diatas adalah ketika Rasulullah tiba di Madinah, para sahabatnya terserang demam, datanglah seorang lelaki lalu menikahi wanita Muhajirah, maka Rasulullah SAW duduk diatas mimbar, lantas bersabda, “wahai manusia! Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung niatnya,” tiga kali. “Maka, siapa yang niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Adapun siapa yang niat hirjahnya untuk dunia yang akan diperolehnya atau wanita yang hendak dinikahinya maka hijrahnya akan sampai kepada apa yang diniatkannya.” Kemudian beliau mengangkat kedua tangan seraya berdo’a, “jauhkanlah kami dari penyakit.” Tiga kali. Pada pagi harinya beliau bersabda: “Saat malam tiba, aku kedatangan demam (dalam mimpi, yang digambarkan) tampak seperti seorang nenek hitam yang ditarik kerah bajunya oleh tangan orang yang membawanya. Orang tersebut berkata, “inilah penyakit demam, lantas apa pendapat anda mengenainya?” Maka aku menjawab: “Pindahkanlah ke Khum (anak sungai antara Mekah dan Madinah, berjarak 3 mil dari Juhfah).”[4]
Hadits ini menjelaskan bahwa niat merupakan barometer untu meluruskan amal perbuatan. Apabila naitnya baik, maka amalan menjadi baik. Sebaliknya, bila niatnya rusak, amalan pun akan rusak.[5] Maka penting bagi kita untuk introspeksi diri apakah amaln yang selama ini kita kerjakan sudah disertai dengan niat yang baik. Karena hal itulah yang akan menentukan diterima atau tidaknya amalan kita.
Amalan yang disertai dengan niat, keadaannya diklasifikasi menjadi tiga: pertama,  seseorang yang melaksanakan amalan karena takut kepada Allah Ta’ala, maka ini nerupakan ibadah para budak. Kedua, seseorang melaksanakannya untuk mencari surge dan pahala, maka ini adalah ibadah para pedagang. Ketiga, seseorang melaksanakannya karena malu kepada Allah Ta’ala dan dalam rangka menunaikan kewajiban beribadah dan bersyukur, seraya tetap memandang bahwa dirinya belum menunaikannya secara penuh, hatinya juga merasa takut karena tidak tahu apakah amalannya diterima atau tidak; inilah ibadah orang yang merdeka.[6]
Pelajaran yang bisa kita ambil dari ayat Qur’an dan hadits diatas adalah:
1)   Dalam beramal shaleh kita harus menjadikan Iman dan mengharap pahala dari Allah sebagai landasan.
2)   Dalam beramal shaleh harus murni karena Allah (tidak disertai ria), dan sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah melalui Rasul-Nya.
3)   Ikhlas merupakan kunci yang menentukan apakah amal shaleh yang kita perbuat diterima oleh Allah atau tidak.
4)   Harus senantiasa memantapkan niat yang baik terlebih dahulu sebelum melakukan sebuah amalan.
5)   Pentingnya tajdidun niyat, yakni memperbaharui niat apabila ditengah melakukan sesuatu kita tersadar bahwa diawal kita belum meluruskan niat kita atau niat kita tercampur dengan ria dan yang lainnya.
Wallahu a’lamu bi ash-shawab
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Wahai Zat yang mebolak-balikkan hati tetapkanlah hatiku atas agamamu.”
اللَّهُمَّ مُصَرِّف الْقُلُوب صَرِّفْ قُلُوبنَا عَلَى طَاعَتك
“Ya Allah Zat yang maha membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku untuk menaati-Mu.”[7]


[1] Departemen agama RI al-Qur’an dan terjemahnya hal.98
[2] An-Nawawi, al-Imam Yahya bin syarofudin, Syarah Hadits Arba’in alih bahasa, Hawin Murtadho & Salafudin Abu sayyid (Solo: Al-Qowam, 2008), hlm.18
[3] Ibnu Katsir, tafsir Ibnu Katsir, cetakan kedua (Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), I:508.
[4] An-Nawawi, Syarah Hadits Arba’in, hlm, 21-22
[5] Ibid.hlm23
[6] Ibid, hlm, 24
[7] An-Nabhani, Ringkasan Riyadush Shalihin,alih bahasa Abu Khodijah Ibnu Abdurrohim cetakan ke-1, (Bandung, IBS:2006) hlm, 202.

Text Widget

Total Pageviews

Categories

Blogger Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

About Me

Foto Saya
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

mari berteman