Meskipun sahabat memiliki kemampuan khusus dan tingkat pemahaman
yang istimewa dalam memahami syari’at dan mengistinbath
hukum, namun bukan berarti ini berlaku untuk semua. Akan tetapi, mereka juga
berbeda-beda dalam hal tingkat pemahaman, sebab mereka juga manusia biasa yang
memiliki perbedaan dan kelebihan masing-masing.
Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai
berikut:
1)
Perbedaan tingkat pemahaman terhadap bahasa. Ada orang yang paham
dengan bahasanya sendiri, istilah-istilah asing yang ada dan cara pemakaiannya,
tetapi ada juga yang tidak bisa. Misalnya, yang ditawarkan oleh Umar bin
al-Khaththab ketika ia membaca firman Allah dalam khutbahnya, atau Allah
akan mengadzab mereka disebabkan mereka menghina (takhawwufin), kemudian
Umar bertanya kepada para hadirin tentang makna takhawwifin, “apa
pendapat kalian tentang ayat ini dan apa arti takhawwuf itu?” Lalu berdirilah
seseorang yang sudah lanjut usia dari kabilah Huzail dan berkata: “ ini bahasa
kami dan takhawwuf artinya menghina (tanaqqush)”, Umar berkata, “apakah orang
Arab tahu ini dalam sya’ir mereka?” Ia menjawab, “ya”, dan ia pun menyebutkan
sebuah bait sya’ir untuk memperkuat ucapannya. Umar berkata: “Jagalah sya’ir
kalian dan kalian tidak akan tersesat.” Para Sahabat bertanya: “Apa itu sya’ir
(diwan) kami?” Umar menjawab: “Sya’ir Jahiliyah, sebab didalamnya ada
penafsiran untuk kitab kalian.”
2)
Perbedaan sahabat dalam memahami asbabun nuzul ayat dan
Sunnah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam hal pergaulan dengan Rasulullah
selaku penyampai wahyu Allah maupun hadits. Sehingga semakin tinggi intensitas
pergaulan seorang sahabat dengan Rasulullah maka akan semakin memebrikan
kepahaman kepada dirirnya terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka tidaklah sama
sahabat generasi pertama dengan generasi setelah mereka, dan tidak sama pula
sahabat yang dekat dengan Rasulullah dengan sahabat yang jauh dari Rasulullah
SAW.
3)
Perbedaan dari segi kapasitas individu sahabat itu sendiri. Yaitu
perbedaan dari segi hafalan, pemahaman, mengeluarkan hukum (istinbâth),
dan kemampuan menerjemahkan isyarat dari nash syariat. Cotohnya
perbedaan sahabat dalam menafsirkan QS. Al-Maidah ayat 3, ada sebagian sahabat
yang menafsirkannya sebagai pemebritahuan saja bahwa agama Islam memang agama
yang paling sempurna, namun ada sahabat yang berbeda dalam menafsirkannya yaitu
Umar Bin al-Khaththab. Beliau menafsirkan ayat tersebut sebagai tanda bahwa
Rasulullah akan wafat.
4)
Perbedaan juga disebabkan adanya nash yang bersifat zhanni
ad-dalalah (kandungan dalil yang masih belum pasti). Maksudnya adalah dalil
yang memiliki makna lebih dari satu, sebagaimana firman Allah QS Al-Baqarah
ayat 228. Dalam memahami lafal quru’ yang terdapat didalamnya para
sahabat berbedada pendapat mengenai masa tunggu (iddah) wanita yang diceraikan
suaminya apakah tiga kali bersih atau tiga kali haidh?
5)
Perbedaan juga disebabkan sunnah yang belum dibukukan. Belum
ditulisnya sunnah dan dikumpulkannya dalam satu himpunan sehingga memudahkan
setiap generasi setelah itu, menyebabkan masing-masing sahabat menghafal apa
yang bisa ia hafal berdasarkan penglihatan langsung, atau dengan cara mendengar
dari Nabi SAW, atau diberitahu oleh sahabat lain yang mendapatkannya dari
Rasulullah SAW karena perbedaan keadaan.
Posting Komentar