Recent Posts

REFLEKSI NATAL DAN TAHUN BARU

“Masuklah Islam, maka anda akan selamat (aslim taslam). Namun jika anda menolak anda akan mendapat dosa 2 x lipat”. Begitulah begitulah surat-surat Nabi SAW yang dikirim kepada Heraclius Kaisar Romawi Timur. Kepada Kaisar Persia Ebrewez surat Nabi SAW berbunyi sama dengan tambahan “...jika anda menolak maka bagi anda dosa seluruh kaum Majusyi”.

Kepada Kaisar Ethiopia Najasyi berbeda lagi. Surat Nabi SAW berbunyi: “Aku ajak Anda kepada Allah yang Esa yang tiada sekutu bagi-Nya... dan mempercayai apa yang aku bawa”

Kepada penguasa Mesir Muqauqis juga demikian “masuklah Islam Anda akan selamat... agar Allah memberi pahala 2 x lipat. Jika Anda menolak, Anda akan menanggung dosa bangsa Qibti”. (dikutip dari buku Misykat karangan Hamid Fahmi Zarkasyi)

Itulah surat-surat yang ditujukan oleh sang revolusioner Muhammad SAW kepada penguasa2 yang hidup sezaman dengan beliau. Tanpa ada paksaan, ancaman bahkan intimidasi yang berujung peperangan, sebagai agama yang membawa keselamatan bagi semesta alam,, tentu menyebarkan agama Islam menjadi hal yang mutlak dilaksanakan,, demi tercapainya cita2 agama Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin..,

Masalahnya....

Sudah berapa kepala,, non muslim yang kita Islamkan...??

Sudah adakah usaha untuk mewujudkannya..??

Sudah adakah niatan untuk melakukan...??



BERILMU DAN BERAKHLAK MULIA

Jepang maju karena ilmu, Amerika menjadi negara adikuasa juga karena kontribusi para ilmuwan yang dimiliki negara itu, jika kita kembali menengok ke belakang, agama Islam pernah berjaya dan hampir menguasai sepertiga permukaan bumi juga karena ilmu pengetahuan yang berkembang pesat pada masa itu.
Pentingnya menguasai ilmu pengetahuan juga pernah diingatkan oleh Nabi SAW, bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban yang mengikat bagi setiap muslim. Tentu Nabi juga selalu memotivasi umatnya untuk mencintai ilmu dengan membeberkan kelebihan dan keunggulan orang yang memiliki ilmu pengetahuan baik keunggulan yang didapat di dunia maupun di akhirat.
Namun ilmu yang dimiliki oleh seorang muslim haruslah diiringi dengan akhlak mulia karena salah satu tugas kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak umat manusia. Tentu Rasulullah SAW bukanlah seorang manusia satu-satunya yang memiliki akhlak mulia, telah banyak pendahulunya yang lebih dulu menanamkan akhlak mulia bahkan lukman al-hakim yang bukan seorang Nabi, terukir namanya didalam al-Qur’an tak lain karena kemuliaan akhlak dan keluhuran budinya. Sehingga Nabi SAW berusaha menanamkan kembali keluhuran budi pekerti dan kemuliaan akhlak serta menyempurnakannya kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini.
Jika kita melihat kenyataan di negeri kita sekarang ini bukanlah ketiadaan orang-orang yang berilmu sebagai penyebab tidak majunya negara ini. Justru ilmuwan-ilmuwan dari negeri kita bahkan bisa bersaing dan meraih kesuksesan di negeri yang berpredikat negara maju dengan segudang ilmuwan yang dimiliki.
Rusaknya moral dan hilangnya akhlak mulia adalah penyebab terbesar ketidak berdayaan negeri kita dalam persaingan global dewasa ini. Banyak orang-orang pintar yang dengan kepintarannya malah mencari-cari cara untuk menguntungkan pribadi dan kelompoknya tanpa berpikir dampak dari perbuatannya yang merugikan seluruh rakyat Indonesia. Contohnya korupsi, yang sudah menjadi amalan harian kata pak Musyro Muqaddas (eks ketua KPK). Betapa besar kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan orang-orang pintar yang satu ini. Bahkan semakin turunnya nilai rupiah juga salah satu penyebabnya tidak tertanganinya kasus-kasus korupsi yang melanda bangsa ini.

Pendidikan yang baik tentunya tidak memisahkan ilmu umum dan ilmu agama yang bukan saja menambah wawasan tapi juga membentuk akhlak mulia pada setiap orang yang ditempanya. Sekarang marilah kita kembali kepada ajaran Nabi SAW untuk menuntut ilmu dengan serius dan tekun serta memperbaiki akhlak kita agar dengan ilmu yang kita miliki bisa memberikan manfaat kebaikan bagi orang-orang di sekitar kita.

TAFSIR FIQHI


I.         PENDAHULUAN
Tafsir Fiqhi sering disebut dengan tafsir ahkam atau tafsir ayatil ahkam yaitu tafsir Al Qur’an yang beraliran Fiqih atau hukum atau tafsir yang dalam penafsirannya banyak difokuskan pada bidang hukum kadang-kadang dalam hal ini yang ditafsirkan hanya ayat-ayat Al Qur’an yang menyangkut soal hukum saja, sedangkan pada ayat yang lain tidak memuat hukum fiqih tidak ditafsirkan atau tidak dimuat.[1]
Dapat di pahami bahwa kedudukan Nabi Muhammad SAW terhadap al-Qur'an sudah jelas beliau ditugaskan menafsiran al-Qur'an kepada para sahabatnya di samping menyampaikan seluruh informasi kewahyuan kepada mereka.[2] Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam salah satu firmannya: 

”Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Tidak dapat di ragukan bahwa ayat tersebut di atas menunjukan adanya penjelasan Rasulullah di satu sisi itu merupakan tafsir. Ketika para sahabat kesulitan memahami suatu ayat mereka langsung menanyakannya kepada Nabi. Dengan demikian sebenarnya Tafsir al- Qur'an telah tumbuh di masa Nabi SAW sendiri dan beliaulah permulaan penafsir (Al-Mufassir Al-Awwal) bagi kitab Allah. Beliau menerangkan maksud-maksud wahyu yang di turunkan kepadanya. Sahabat-sahabat Rasulullah tidak ada yang berani menafsirkan al-Qur'an ketika Rasul masih hidup. Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan al-Qur'an.[3]
Al-Qur'an meliputi hukum-hukum yang berkenaan dengan kemaslahatan manusia di dunia dan di ahirat. Kaum muslimin memahami  ayat-ayat hukum sesuai dengan bahasa arab yang mereka fahami. Jika menghadapi kesulitan, mereka dengan mudah menanyakan dan mengkompromikan penafsiran yang benar kepada Rasulullah SAW.
Penafsiran al-Qur'an setelah Rasulullah wafat dirasakan sangat perlu ketika terjadi kasus-kasus hukum yang sebelumnya tidak pernah ada di zaman Rasul. Maka segera diperlukan istinbath hukum dari al-Qur'an, jika tidak ada penjelasan hukumnya dalam al-Qur'an maka segera dicari penjelasanya dalam hadis. Jika dalam hadis pun tidak ada ada penjelasan hukumnya, segera dilakukan ijtihad. Para sahabat tidak selamanya sepakat atas hasil istinbath hukum dikalangan mereka, mereka pun kadang-kadang berbeda pendapat, walaupun dalam kasus yang sama. Keadaan seperti ini terus berlanjut hingga lahirnya mazhab-mazhab hukum. Pada masa ini banyak kasus-kasus hukum yang timbul dan tidak pernah di jumpai sebelumnya. maka lahirlah tafsir yang di tulis oleh masing –masing madzhab hukum .
Ketika tiba masa empat imam Fiqih dan setiap imam membuat dasar-dasar istinbath hukum masing-masing dalam mazhabnya serta berbagai peristiwa semakin banyak dan persoalan pun menjadi bercabang-cabang, maka semakin bertambah pula aspek aspek perbedan pendapat dalam memahami ayat, hal ini di sebabkan perbedaan dari segi dalalahnya, bukan karena fanatisme suatu mazhab melainkan karena setiap ahli Fiqih berpegang kepada apa yang dipandangnya benar. Karena itu ia tidak memandang dirinya hina jika ia mengetahui kebenaran pada pihak lain untuk merujuk kepadanya.[4]
Di dalam perkembangan selanjutnya, masing-masing imam mazhab tersebut mempunyai banyak pengikut. Sebagian dari mereka ini ada yang sangat fanatik, yang menatap ayat-ayat dengan kacamata mazhab semata, lalu menafsirkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan pandangan mazhab. Namun, sebagian dari mereka itu ada pula yang obyektif, yang melihat ayat dengan kacamata yang bebas dari tendensi dan kepentingan mazhab, mereka menafsirkan ayat-ayat seperti apa adanya sesuai dengan kesan nalar mereka.[5]

II.      PEMBAHASAN
A.    Karya-karya tafsir fiqh
1.    Ahkamul Qur’an oleh Al-Jassas (terbit),
2.    Ahkamul Qur’an oleh Al-Kaya Al-Haras (manuskrip),
3.    Ahamul Qur’an  Ibnul ‘Arabi (terbit),
4.    Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, oleh Al-Qurtubi (terbit),
5.    Al-Iklil fi Istinbatit Tanzil, oleh As-Suyuti (manuskrip),
6.    At-Tafsiratul Ahmadiyah fi Bayanil Ayatisi Syar’iyah oleh Mula Geon (terbit di India),
7.    Tafsiru Ayatil Ahkam, oleh Syaikh Muhammad As-Sayis (terbit),
8.    Tafsiru Ayatil Ahkam, oleh Syaikh Manna’ al-Qattan (terbit), dan
9.    Adwa’ul Bayan, oleh Syaikh Muhammad Asy-Syinqiti (terbit).
Berikut ini akan dipaparkan beberapa tokoh mufassir yang menggunakan corak tafsir fiqhi beserta sedikit ulasan mengenai karya tafsirnya.
a.         Ahkamul Qur’an, oleh Al-Jassas.
Nama aslinya adalah Abu Bakar Ahmad bin Ali ar-Razi, yang terkenal dengan panggilan Al-Jassas (tukang plester). Dinisbahkan pada pekerjaan al-jass (memlester). Ia adalah seorang imam fikih Hanafi pada abad keempat Hijriyah. Dan kitabnya Ahkamul Qur’an dipandang sebagai kitab tafsir fikqhi terpenting, terutama bagi pengikut mazhab hanafi.[6] Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an terutama yang berkaitan dengan urusan fikih beliau tentunya berpegang pada pendapat dari imam Hanafi.
Dalam kitab tafsirnya beliau membatasi diri hanya membahas masalah-masalah furu’ (cabang). Dalam menafsirkan ayat al-Qur’an beliau memaparkan satu atau beberapa ayat, kemudian menjelaskan maknanya dengan atsar dan memaparkan masalah fikih yang berhubungan, baik hubungan itu dekat maupun jauh, serta mengemukakan berbagai perbedaan pendapat antar mazhab. Sehingga membaca kitab ini seolah-olah kita sedang membaca kitab fikih bukan kitab tafsir.
Dalam tafsirnya nampak jelas bahwa al-Jassas menganut paham mu’tazilah. Misalnya ia mengatakan mengenai firman Allah, ia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata (al-An’am [6]:103); makna ayat ini ialah: Ia tidak dapat dilihat oleh penglihatan mata. Ini merupakan pujian dengan peniadaan penglihatan mata. Ini merupakan pujian dengan peniadaan penglihatan mata, seperti firman-Nya: ...tidak mengantuk dan tidak tidur... (al-Baqarah [2]:255). Apa yang ditiadakan Allah untuk memuji diri-Nya maka penetapan kebalikannya adalah celaan dan penghinaan, karena itu tidak diperkenankan menetapkan kebalikan tersebut, oleh karena itu memuji-Nya dengan peniadaan dari-Nya penglihatan mata, maka menetapkan kebalikannya tidak diperkenankan karena hal demikian berarti menetapkan sifat aib dan kurang (bagi-Nya).
Kitab al-Jassas telah diterbitkan dalam 3 jilid dan beredar luas di kalangan ahli ilmu karena ia merupakan rujukan fikih Hanafi.[7] Maka tidak diragukan lagi setiap orang yang merujuk pada fikih Hanafi mesti telah membaca karya beliau yang cukup penting ini.
b.             Ahkamul Qur’an, oleh Ibn ‘Arabi.
Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Mu’afiri al-Andalusi al-Isybili adalah salah seorang ulama Andalusia yang luas ilmunya bermazhab Maliki. Kitabnya Ahkamul Qur’an merupakan rujukan terpenting bagi tafsir fikih kalangan pengikut Maliki.[8]
Didalam tafsirnya Ibnu ‘Arabi adalah seorang adil dan moderat, tidak terlalu fanatik kepada mazhab dan tidak kasar dalam menyanggah pendapat lawan-lawannya sebgaimana dilakukan al-Jassas, meskipun demikian ia tidak memperhatikan setiap kesalahan ilmiah yang keluar dari mujtahid maliki.
Ia menyebutkan berbagai pendapat ulama dalam menafsirkan ayat dengan membatasi pada ayat-ayat hukum, dan menjelaskan berbagai kemungkinan makna ayat bagi mazhab lain serta memisahkan setiap ponit permasalahan dalam menafsirkan ayat dengan judul tertentu.[9]
Berbeda dengan al-Jassas yang cenderung mengkritik mazhab lain dengan keras, Ibn ‘Arabi cenderung lebih sopan dalam mengkritik pendapat dari mazhab lain yang tidak sependapat dengannya. Karena yang dibahas adalah masalah furu’ maka keaneka ragaman pendapat tidak bisa dihindarkan.
Sebagai contoh penafsiran beliau adalah sebagai berikut:

“wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu....” (Al-Maidah [5]:6)
Ibn ‘Arabi berkata:  Masalah kesebelas adalah firman-Nya “faghsilu” (basuhlah). Asy-Syafi’i mengira, yaitu menurut sahabatnya Ma’d bin ‘Adnan didalam al-Fasahah, apalagi Abu Hanifah dan lainnya, bahwa membasuh adalah menuangkan air pada sesuatu yang dibasuh tanpa menggosok-gosok. Kami telah menjelaskan rusaknya pendapat ini dalam masalah-masalah khilafiyah dan di dalam tafsir surat an-Nisa. Kami telah menyatakan bahwa “membasuh” adalah menyentuhkan tangan atau benda (anggota badan) lain sebagai penggantinya dengan mengalirkan air.[10]  
Ibn ‘Arabi berpegang pada bahasa dalam mengistinbathkan hukum dalam kitab tafsirnya. Ia juga meninggalkan cerita-cerita isra’iliyat dan mengkritik hadis-hadis dha’if serta berhati-hati dengannya.
Kitab tafsir milik Ibn ‘Arabi ini telah diterbitkan beberapa kali. Diantaranya ada yang dicetak dalam dua jilid besar dan ada pula yang dicetak empat jilid. Kitab itu telah beredar luas di kalangan para ulama.[11]
c.              Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, oleh Abu Abdullah Al-Qurtubi.
Adalah Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi seorang ulama ternama di kalangan Maliki. Karyanya cukup banyak dan paling mashur adalah kitab tafsirnya:Al-Jami’li Ahkam Al-Qur’an
Di dalam tafsirnya ini Al-Qurtubi tidak membatasi kajianya pada ayat-ayat hukum saja., tetapi konprehensif. Metodologi tafsirnya adalah; menyebutkan asbabun nuzul (sebab-sebab turunya ayat), mengemukakan ragam Qira’at dan I’rab, menjelaskan lafazh-lafazh yang gharib (asing), melacak dan menghubungkan berbagai pendapat kepada sumbernya, menyediakan paragraph khusus bagi kisah para mufassir dan berita-berita dari para ahli sejarah, mengutip dari para ulama terdahulu yang dapat dipercaya, khususnya penulis kitab hukum.Misalnya, ia mengutip dari ibnu Jarir Ath-Thabari. Ibnu ‘Athiyah, Ibnu Arabi, Alkiya Harrasiy dan Abu baker Al-Jasshash.
Al-Qurtubi sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia mengetengahkan masalah-masalah khilafiyah, hujjah bagi setiap pendapat lalu mengomentarinya. Dia tidak fanatik  madzhab. Contohnya saat menafsirkan firman Allah,

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa dengan istri-istri kamu..........,”(Al-Baqarah:187)
Dalam masalah kedua belas dari masalah yang terkandung dalam ayat ini, sesudah mengemukakan perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum orang yang akan makan siang hari dibulan Ramadhan karena lupa, dan mengutip pendapat Imam Malik, ynag mengatakan batal dan wajib mengqadha ; Ia mengatakan, “Menurut pendapat selain Imam Malik, tidaklah dipandang batal setiap orang yang makan karena lupa akan puasanya, dan jumhur pun berpendapt sama bahwa barang siapa makan atau minum karena lupa, ia tidak wajib mengqadha’nya. Dan puasanya tetap sempurna. Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Hurairah, katanya, Rasulullah bersabda, “jika seseorang sedang berpuasa lalu makan atau minum karena lupa, maka yang demikian adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan ia tidak wajib mengqadha’nya,”
Dari kutipan ini kita melihat, dengan pendapat yang dikemukakannya itu Al-Qurtubi tidak lagi sejalan dengan madzhabnya sendiri, ia berlaku adil terhadap madzhab lain.
          Al-Qurtubi juga melakukan konfrontasi terhadap sejumlah golongan lain. misalnya, ia menyanggah kaum Mu’tazilah, Qadariyah, Syi’ah Rafidhah, para filosof dan kaum sufi ynag ekstrim. Tetapi dilakukan dengan bahasa yang halus. Dan di dorong oleh rasa keadilan, kadang-kadang ia pun membela orang-orang yang di serang oleh ibn ‘Arabi dan mencelanya karena ungkapan-ungkapannya yang kasar dan keras terhadap ulama. Dan jika perlu mengkritik, maka kritikannya pun bersih serta dilakukan dengan cara sopan dan terhormat.
          Kitab Al-Jami’Li Ahkam Al-Qur’an ini pernah hilang dari perpustakaan, hingga akhirnya Dar Al-Kutub Al-Mishiriyah mecetaknya kembali. Kini bagi para pembaca mudah untuk memperolehnya.
B.  Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Fiqhi

1.    Kelebihan Tafsir Fiqhi
Meskipun peluang terjadinya perbedaan pendapat dalam melakukan penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi sangatlah besar, namun penafsiran lewat pendekatan ini memiliki bebarapa kelebihan, diantaranya :
a.    Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum syari’at yang terdapat dalam al-Qur’an, hal ini menjadi titik tolak pemahaman umat bahwa sesungguhnya al-Qur’an tidak hanya menjelaskan tentang aspek yang bersifat transenden dan metafisik (aqidah), akan tetapi ia juga menjelaskan tentang aspek-aspek syari’ah, disisi lain juga memberitahukan bahwa syari’ah atau hukum bukan semata-mata merupakan produk fuqaha’ akan tetapi telah menjadi bagian dari nash-nash al-Qur’an bahkan lebih dominan yang mampu mengatur tatanan hidup manusia baik individu maupun sosial.
b.    Upaya untuk memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan untuk mempermudah manusia dalam mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang termaktub di dalam al-Qur’an setelah terjebak ke dalam perbedaan mazhab dogmatis serius yang bersifat teoritis.
c.    Tafsir al-Qur’an dengan pendekatan fiqhi meskipun memberikan peluang terjadinya perbedaan pemahaman terhadap teks-teks Quraniyyah tetap memberikan sumbangsih pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan hukum dalam kehidupan baik individu maupun sosial tetap harus tunduk kepada al-Musyarri’ al-Awwal (Allah) melalui kalam-Nya yang mulia kemudian kepada pembawa wahyu dan risalah yang kemudian dikenal sebagai al-musyarri’ ats-Tsany ba’da Allah (Rasulullah Saw) melalui Sunnah beliau demi kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
d.   Tafsir fiqhi berusaha untuk membumikan al-Qur’an lewat pemahaman ayat-ayat qauliyah kepada ayat-ayat kauniyyah guna meberikan penyadaran, pemberdayaan dan advokasi terhadap permasalahan kehidupan manusia.
e.    Tafsir fiqhi kendatipun beragam tetap memberikan kekayaan bagi khazanah intelektual muslim dunia, sebab tanpa adanya penafsiran al-Qur’an dalam bentuk ini, maka umat Islam secara khusus dan manusia secara umum akan kehilangan akar hukum dan perundang-undangan yang sesungguhnya.
2.    Kelemahan Tafsir Fiqhi
Hasil olah pikir manusia biasa tidak akan pernah lepas dari berbagai macam bentuk kekurangan dan kelemahan, sebab sudah menjadi bagian dari suratan takdir bahwa manusia adalah makhluk yang lemah bisa benar dan biasa salah. Demikian juga adanya dengan penafsiran al-Qur’an yang meskipun landasan penafsirannya adalah untuk menemukan saripatih dari perkataan Yang Maha Benar secara mutlak namun dilakukan oleh manusia, maka pasti akan terdapat kelemahan. Dan diantara kelemahan penafsiran al-Qur’an melalui pendekatan fiqhi adalah :
1.    Tafsir fiqhi cenderung terjebak pada fanatik mazhaby sehingga memunculkan sikap ortodoksi, pembelaan dan pembenaran terhadap madzhab tertentu dan menafikan keabsahan mazhab-mazhab lainnya. Sikap ini terwariskan kepada berpulu-puluh generasi hingga saat ini.
2.    Tafsir fiqhi melakukan reduksi pada satu aspek tertentu dari al-Qur’an (penafsiran parsial) padahal al-Qur’an meliputi akidah dan syariah, konsep dan sistem, teori dan praktek  yang membutuhkan pemahaman dan penafsiran secara universal.
3.    Tafsir fiqhi lebih mengedepankan penafsiran al-Qur’an dengan menghubungkannya pada konteks sosial tertentu dan cenderung mengabaikan nilai-nilai universal hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an (rahmatan li al-’alamin). Sebab tidak semua bentuk permasalahan yang telah terjawab pada masa lampau masih berlaku pada masa sekarang, sehingga dibutuhkan penafsiran terhadap ayat-ayat hukum al-Qur’an yang sesuai dengan kebutuhan zaman saat ini tanpa menafikan kerja-kerja yang bersifat analogi terhadap masa lampau dan berusaha untuk tidak terjebak pada perbedaan teoritis mazhaby.[12]
III.   PENUTUP
Adanya corak tafsir fiqhi ini menambah kekayaan khazanah tafsir yang dimiliki oleh umat Islam. Semakin banyaknya umat Islam yang berusaha untuk menafsirkan al-Qur’an dengan berbagai metode dan coraknya hal itu membuktikan bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi pedoman umat Islam dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian maka semakin bertambah yakinlah kita terhadap kitab yang ditegaskan oleh Allah bahwa tidak ada keraguan padanya (al-Qur’an).









Daftar Pustaka
Hasby Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur'an Media-media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur'an, Bulan Bintang, Cet III, Jakarta 1993
Dr. Hasan Hanafi, Manahij at-Tafsir wa Mashalih al-Ummah, diterjemahkan oleh: Yudian Wahyudi dengan judul, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, (Cet. I; Yogyakarta: Nawesea, 2007)
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Literatur AntarNusa, 2009. Hlm. 517-518.
Drs.H.Ahmad Syadali, M.A-Drs.H.Ahmad Rofi’I. Ulumul Qur’an II, CV.Pustaka Setia.Bandung:1997.
Rosihan Anwar,  Samudera Al-Qur'an, Pustaka Setia, Cet I, Bandung, 2001.


[1] Drs.H.Ahmad Syadali, M.A-Drs.H.Ahmad Rofi’I. Ulumul Qur’an II, CV.Pustaka Setia.Bandung:1997.
[2] Rosihan Anwar, " Samudera Al-Qur'an ", Pustaka Setia, Cet I, Bandung, 2001
[3] Hasby Ash Shiddieqy, "Ilmu-Ilmu Al-Qur'an Media-media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur'an ",Bulan Bintang, Cet III, Jakarta 1993.
[4] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Literatur AntarNusa, 2009. Hlm. 517
[5] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, ............. Hlm. 517
[6] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, ............. Hlm. 517-518.
[7] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.........., hlm. 519
[8] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.........., hlm. 519
[9] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.........., hlm. 519
[10] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.........., hlm. 519-520.
[11] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.........., hlm. 520
[12] Dr. Hasan Hanafi, Manahij at-Tafsir wa Mashalih al-Ummah, diterjemahkan oleh: Yudian Wahyudi dengan judul, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, (Cet. I; Yogyakarta: Nawesea, 2007)

PERINTAH MEMBERSIHKAN PAKAIAN DALAM AL-QUR'AN


وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Dan bersihkanlah pakaianmu”

Sepenggal ayat Al-Qur’an diatas memang memakai kata yang sederhana dan mudah dipahami oleh setiap orang yang membacanya. Namun jika dicari maknanya maka begitu luas hikmah yang terkandung dalam sepenggal ayat yang sedikit ini.
Secara bahasa kita bisa menerjemahkan ayat diatas sebagai perintah untuk membersihkan pakaian. Simple memang namun jika kita berhenti sampai disitu saja maka kita tidak mendapatkan hikmah yang lain dalam ayat tersebut. Karena apakah kita berpikir bahwa perintah membersihkan pakaian (mencuci) harus sampai diwahyukan oleh Allah melalui perantara Jibril dan dijadikan sebagai risalah Ilahi untuk disampaikan kepada umatnya. Apakah orang-orang Arab pada waktu itu tidak suka mencuci pakaiannya? Atau apakah orang-orang pada waktu itu selalu memakai pakaian kotor sehingga perintah membersihkan pakaian harus dimasukkan kedalam tugas kerasulan Muhammad SAW? Maka perlu bagi kita untuk membaca kitab-kitab tafsir untuk mengetahui makna dan hikmah yang lebih luas dari setiap ayat-ayat Al-Qur’an.
Qatadah mengatakan: “Ini adalah kalimat bahasa Arab, dulu orang Arab jika berkata “Bersihkanlah pakaianmu” maksudnya bersihkan dari segala dosa. Adh-Dhahak mengatakan bahwa maknanya adalah jangan menggunakan pakaianmu dalam berbuat maksiat.
Menurut As-Sa’di yang dimaksud dengan pakaian yang harus dibersihkan adalah segala amal perbuatan manusia. Sehingga dalam setiap amalnya senantiasa didasari ikhlas karena Allah SWT. Tidak tercampur dengan segala penyakit hati seperti sombong,riya dan sebagainya.
Mujahid mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pakaian disitu adalah amalmu perbaikilah. Abu Razin mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat diatas adalah perbaikilah amalmu, dalam kebiasaan orang Arab jika ada orang yang jelek perbuatannya maka dia dikatakan dia berpakaian kotor sedangkan jika perbuatannya benar/baik maka dikatakan bahwa ia berpakaian bersih.
Para ulama terbagi kedalam dua pandangan ada yang menafsirkan ayat diatas dengan arti yang sedungguhnya sehingga yang dimaksud dengan pakaian disitu adalah pakaian yang digunakan manusia untuk menutupi auratnya. Namun sebagian lainnya menafsirkan ayat diatas dengan mena’wilkan makna pakaian kedalam makna majazi yakni maksud dari pakaian yang harus dibersihkan adalah amal perbuatanmu.
Pendapat yang paling banyak dipegang oleh para mufassir adalah makna yang kedua. Bahkan dalam kitab tasir Ath-Thabari dikatakan bahwa sebagian besar mufassir mengartikan kata ats-tsiyab adalah hati.
Terlepas dari semua itu kita bisa mengambil jalan tengah dalam menerjemahkan ayat 4 dari surat Al-Mudatsir ini.
1.   Perintah untuk membersihkan pakaian disini adalah dengan menjaganya agar tidak digunakan dalam segala bentuk kemaksiatan yang dapat menimbulkan dosa bagi pelakunya.
2.  Perintah membersihkan pakaian adalah membersihkan setiap amal perbuatan kita dari segala bentuk penyakit hati.
3.    Menjaga kebersihan hati. Karena hati adalah pusat dari segala amal perbuatan kita. Sebagaimana dalam hadis dikatakan: “jika ia baik maka baiklah seluruh tubuhmu dan jika dia buruk maka buruklah semua tubuhmu, ketahuilah ia adalah hati.”

MANDI SEBELUM JUM'ATAN, HARUSKAH....????

A. PENDAHULUAN
Hari jum’at adalah hari besar atau hari raya mingguan bagi kaum muslimin. Pada hari tersebut dilaksanakan ibadah mingguan yaitu shalat jum’at. Tentu pelaksanaan shalat jum’at yang dilaksanakan pada tengah hari yaitu pada waktu zuhur dan tidak liburnya kegiatan-kegiatan warga Negara Indonesia yang lebih memilih hari minggu sebagai hari libur akhir pecan menyebabkan umat muslim harus pintar-pintar membagi waktu antara bekerja tanpa mengesampingkan kewajiban menunaikan shalat jum’at berjama’ah. Dengan waktu yang sempit umat muslim dituntut untuk bisa menyeimbangkan antara mencari kehidupan duniawi tanpa meninggalkan kewajiban sebagai makhluk Tuhannya yakni beribadah kepada-Nya. Karena perintah shalat jum’at telah secara jelas didalam Al-Qur’an sebagai sebuah kewajiban bagi kaum muslimin. Dengan meninggalkan segala aktivitas yang dilakukan sebelum dilaksanakannya shalat jumat dan baru boleh dilanjut kembali setelah selesai menunaikan shalat jum’at. Dengan adanya dalil tersebut maka wajib bagi kita semua untuk menunaikan shalat jum’at jika sudah masuk waktunya dan meninggalkan segala aktivitas apapun yang sedang kita lakukan demi menghadapkan diri kita kepada sang Maha Kuasa sebagai bentuk penghambaan kita kepada-Nya. Lalu yang jadi permasalahan adalah ketika shalat jum’at itu harus diawali dengan mandi sebelum menunaikannya. Hal itu tentu tidak ada masalah bagi beberapa orang yang memang tidak ada aktivitas di hari jum’at. Namun bagi orang yang sedang bekerja di kantor, pasar, pabrik, atau berada di sekolah dengan jam istirahat yang dibatasi, bukankah hal itu akan mempersulit mereka dalam mengerjakannya. Hadis-hadis yang menerangkan tentang mandi hari jum’at memang seolah-olah saling kontradiktif antara satu dengan lainnya. Dimana satu hadis yang shahih mengatakan bahwa hukum mandi pada hari jum’at adalah wajib karena dalam teks hadisnya sendiri terdapat kata-kata “wajib”. Namun dalam teks hadis lain tidak terdapat lafaz yang mengindikasikan kewajiban mandi pada hari jum’at.
B. PEMBAHASAN
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ 
"Apabila salah seorang kalian berangkat shalat Jum'at hendaklah dia mandi." (HR. Muslim) Dan diatara hadis Nabi yang dijadikan dalil oleh kelompok yang memandang bahwa mandi pada hari jum’at tidak wajib adalah:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا

 "Barangsiapa berwudlu', lalu memperbagus (menyempurnakan) wudlunya, kemudian mendatangi shalat Jum'at dan dilanjutkan mendengarkan dan memperhatikan khutbah, maka dia akan diberikan ampunan atas dosa-dosa yang dilakukan pada hari itu sampai dengan hari Jum'at berikutnya dan ditambah tiga hari sesudahnya. Barangsiapa bermain-main krikil, maka sia-sialah Jum'atnya." (HR. Muslim no. 857) 
Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hanya menyebutkan wudlu' dan hanya menfokuskan padanya, tidak pada mandi, lalu menilainya sah sekaligus menyebutkan pahala yang diperoleh dari hal tersebut. Dengan demikian, hal itu menunjukkan wudlu' saja sudah cukup dan tidak perlu mandi. Dan bahwasanya mandi itu bukan sesuatu yang wajib, tetapi Sunnah Mu'akkadah. Dengan demikian, hal itu menunjukkan wudlu' saja sudah cukup dan tidak perlu mandi. Dan bahwasanya mandi itu bukan sesuatu yang wajib, tetapiSunnah Mu'akkadah. Imam al Nawawi rahimahullah, dalam Syarh Shahih Muslim, ketika memberikan syarah hadits, "siapa yang mandi kemudian mendatangi Jum'at, lalu shalat sebagainya yang dia mampu, lalu memperhatikan khutbah hingga selesai, lalu shalat bersama Imam, maka diberi ampunan untuknya pada hari itu sampai dengan hari Jum'at berikutnya dan ditambah tiga hari sesudahnya," beliau menyitir riwayat di atas. Kemudian berkata, "di dalam hadits (pertama) terdapat keutamaan mandi. Dan itu bukan hal yang wajib berdasarkan riwayat kedua. Di dalamnya terdapat anjuran berwudlu' dan memperbagusnya." Kedua, hadits Samurah bin Jundab radliyallah 'anhu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 

 مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ, وَمَنْ اِغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ 

"Barangsiapa yang berwudlu', maka dia telah mengikuti sunnah dan itu yang terbaik. Barangsiapa yang mandi , maka yang demikian itu lebih afdhal." (HR. Abu Dawud no. 354, al-Tirmidzi no. 497, al-Nasai no. 1379, Ibnu Majah no. 1091, Ahmad, no. 22. Imam al-Tirmidzi menghasankannya) Ibnu Hajar mencantumkan hadits ini dalam Bulughul Maram sesudah hadits yang menunjukkan wajibnya mandi Jum'at. Dan berdasarkan hadits ini, Jumhur mendasarkan pendapat mereka. Imam al Shan'ani dalam Subul al-Salam berkata, "hadits ini menjadi dalil tidak wajibnya mandi." Al-Mubarakfuri dalam Ithaf al Kiram berkata, "hadits ini menguatkan pendapat Jumhur bahwa mandi hari Jum’at tidak wajib." Ketiga, pengakuan 'Umar dan para sahabat terhadap 'Utsman yang berangkat menunaikan shalat Jum'at dengan berwudlu' saja, tidak mandi. Mereka tidak menyuruh 'Ustman untuk keluar dari masjid serta tidak menolaknya sehingga hal itu menjadi ijma' mereka bahwa mandi bukan menjadi syarat sahnya shalat Jum'at dan tidak wajib. Imam al Nawawi mengambil kesimpulan dari kisah ini, seandainya mandi Jum'at itu wajib pasti 'Utsman tidak akan meninggalkannya. Dan jika wajib, pasti 'Umar dan para sahabat lainnya akan menyuruhnya mandi. Padahal status keduanya sebagai Ahlul Halli wal 'Aqdi. Imam al Tirmidzi rahimahullah menyimpulkan dari kisah ini, bahwa mandi hari Jum'at bersifat pilihan dan bukan sesuatu yang wajib. Keempat, sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada para sahabat yang keluar bekerja pada hari Jum'at sehingga mereka terkena debu dan menimbulkan bau tidak sedap;
 لَوْ اغْتَسَلْتُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
 "Alangkah baiknya kalian mandi pada hari Jum'at." (HR. Muslim dari 'Aisyah radliyallah 'anha) dalam riwayat lain, "kalau saja kalian membersihkan diri kalian untuk hari kalian ini." Lafadz hadits ini memberikan pengertian bahwa mandi hari Jum'at itu bukan suatu yang wajib. Pengertian dari sabda beliau di atas adalah, "niscaya akan lebih baik dan lebih sempurna." (Syarh Shahih Muslim: IV/382) Dengan adanya hadis-hadis tentang mandi pada hari jum’at yang seolah-olah bertentangan antara satu dengan lainnya, dimana ada yang mencantumkan lafaz wajib dalam teks hadisnya tapi dalam hadis lain hanya ada anjuran saja. Untuk menyelasikan hadis-hadis ikhtilaf ini kami mencoba menggunakan metode Al-Jam’u Wa At-Taufiq sebagaimana dicontohkan oleh Imam Asy-Syafi’i. Yakni dengan mengkompromikan hadis-hadis tersebut sehingga dapat dipahami bahwa adanya lafaz wajib dalam beberapa hadis tentang mandi pada hari jum’at tidak serta merta menjadikan hukum mandi pada hari jum’at menjadi wajib karena banyaknya hadis-hadis lain dengan derajat yang shahih pula yang menyatakan bahwa mandi pada hari jum’at hanya sebatas anjuran.

C. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah kami paparkan diatas maka dapat ditarik kesimpulan mengenai hukum mandi pada hari jum’at sebagai berikut: 
1. Mandi pada hari jum’at hukumnya sunnah mu’akaddah yaitu dianjurkan untuk dilakukan tapi tidak menyebabkan datangnya dosa jika tidak melaksanakannya karena perintah wajib dalam beberapa hadis tentang mandi pada hari jum’at dipahami sebagai sebuah anjuran dan hal itu didukung oleh banyaknya hadis shahih yang menyatakan bahwa mandi hari jum’at hanya sunnah. 
2. Namun dengan adanya beberapa hadis yang mewajibkan kita mandi hari jum’at hendaknya menjadi acuan bagi kita untuk tidak serta merta melalaikannya. Bahkan berusaha untuk melaksanakannya. Umat Islam memang harus senantiasa memperdalam pemahaman mereka mengenai hadis yang menjadi pedoman kita setelah Al-Qur’an. Dengan demikian kita bisa mewujudkan dan menjaga fungsi dari agama Islam sebagai agama yang sesuai bagi semua zaman.

Pemikiran Dawam Raharjo tentang Al-Qur’an, Tafsir dan Takwil


1)      Pemikiran tentang Al-Qur’an

Dawam mengatakan bahwa al-Qur’an yang dewasa ini merupakan kompilasi ayat-ayat atau wahyu Allah, adalah sebuah kitab atau buku yang berisikan petunjuk yang langsung berasal dari Allah.Untuk memperoleh petunjuk tersebut, salah satu caranya menurut Dawam adalah dengan membaca al-Qur’an. Petunjuk yang akan diberikan Allah tidak secara mendetail berkaitan dengan masalah kongkrit yang dihadapi manusia, tetapi al-Qur’an hanya memberikan pedoman umum, tergantung kemampuan manusia untuk menganalisa permasalahannya sendiri berdasarkan petunjuk umum yang berbentuk pedoman moral.[1]
Sedangkan al-Qur’an yang berfungsi sebagai bayan terkait dengan suatu petunjuk, Dawam sangat sependapat dengan sebagian besar ulama yang mengatakan bahwa al-Qur’an selalu menjelaskan dirinya sendiri. Misalnya di dalam al-Qur’an terdapat suatu kata kunci, seperti taqwa, hanif, amanah atau yang lain, bisa jadi ayat selanjutnya atau ayat pada surah lain yang memberikan penjelasannya. Sebagai contoh, arti hanifdalam al-Qur’an cukup banyak dijelaskan, misalnya dalam surah al-Baqarah ayat 135, kata hanif dimaknai dengan lurus. Penjelasan makna lurus tersebut dapat ditemukan pada ayat 136 pada surah al-Baqarah, yang berbunyi:
Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya".
Ayat di atas menjelaskan makna manusia yang hanif, di mana ayat 135 menjelaskan ciri negatifnya, sedangkan ayat 136 menjelaskan makna positifnya. Dari aspek negatifnya, ciri orang hanif adalah mereka yang tidak menganut agama Yahudi dan Nasrani, bukan pula menyembah berhala (ayat 135).Sedangkan dari sisi positifnya, orang yang hanif adalah mereka yang beriman dan tunduk hanya kepada Allah dan percaya terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada nabi-Nya.[2] Tetapi, tatkalaajaran yang diturunkan Allah kepada nabi-Nya dirasuki kemusyrikan, maka tidak ada lagi pengakuan atau penghargaan terhadap mereka.
Contoh lain, misalnya ayat dijelaskan oleh ayat selanjutnya atau ayat dijelaskan oleh ayat pada surah lain tentang konsep taqwa. Pada surah al-Baqarah ayat 2, dijumpai istilah muttaqin, yang berarti orang bertaqwa.Untuk menjelasakan lebih lanjut tentang kualitas orang yang bertaqwa, dapat dilihat pada ayat selanjutnya yaitu ayat 3-5. Sedangkan tanda-tanda orang yang bertaqwa, dapat ditemukan pada surah Ali Imran ayat 134-135, dengan indikator orang-orang yang: a) membelanjakan hartanya (untuk kepentingan umum) pada waktu lapang dan sempit, b) yang mampu menahan marah, c) suka member maaf kepada manusia, dan d) yang apabila berbuat tidak senonoh atau berbuat dzalim kepada dirinya sendiri, lalu ingat kepada Allah serta memohon ampun atas dosanya.[3]
Contoh di atas membuktikan al-Qur’an seringkali menjelaskan dirinya sendiri, baik pada ayat setelahnya atau ayat pada surah lain, namun seringkali seseorang tidak menyadari, bahwa al-Qur’an sudah memberikan  definisi yang jelas tentang konsep yang dimunculkannya. Oleh karena itu, cara yang terbaik untuk memahami atau menafsirkan al-Qur’an adalah mencari penjelasan menurut al-Qur’an itu sendiri, setelah itu barulah dicarikan tafsir yang relevan dengannya.
Adapun mengenai al-Qur’an sebagai pembeda antara yang benar dan salah, Dawam berpendapat bahwa tolok ukur kedua hal tersebut tidak berwujud seperti sebuah definisi, melainkan hanya suatu penjelasan (al-bayan) sehingga seseorang dapat membedakannya dengan baik.Terkait dengan hal itulah, Dawam berpendapat perlunya sebuah tafsir untuk memahami al-Qur’an, agar diperoleh penjelasan tentang sesuatu yang baik atau buruk, sesuatu yang benar atau salah, dan atau beberapa pembeda/petunjuk yang lainnya.
Selain itu, Dawam juga mengemukakan beberapa hal penting terkait pemaknaan al-Qur’an.Misalnya, Dawam menganggap al-Qur’an sebagai sumber nilai.[4] Dia juga berpendapat bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah yang merupakan petunjuk (hudan), dan rahmat bagi semua manusia, bukan hanya untuk nabi, auliya Allah atau ulama saja, tetapi untuk semua yang mau bersungguh-sungguh mendapakatnya.[5]

2)   Tafsir dan Takwil
Secara implisit, Dawam mengartikan tafsir sebagai cara untuk memahami ayat al-Qur’an secara mendalam dengan melakukan analisa.[6] Pengkajian yang dilakukan harus menggunakan metode tertentu, misalnya menjelaskan ayat al-Qur’an berdasarkan ayat al-Qur’an itu sendiri, atau lebih populer disebut Dawam tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an.
Salah satu gagasan Dawam yang bisa dinilai cukup berani adalah komentarnya seputar kriteria orang yang berhak dalam menafsirkan al-Qur’an. Menurutnya, semua orang dapat memahami atau menafsirkan berdasarkan kemampuan yang ia miliki, sebab salah satu keistimewaan al-Qur’an adalah ayat-ayatnya bisa dipahami oleh manusia dari berbagai tingkat berpikir. Makna yang lebih mendalam bisa didapat oleh orang yang memiliki tingkat berpikir lebih cerdas atau lebih berkembang. Pada sisi lain, terdapat pula cara untuk membaca dan memahami al-Qur’an bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Arab. Ini dilakukan melalui terjemahan al-Qur’an.Terjemahan adalah bagian dari metode memahami al-Qur’an.[7]
Dawam menyadari bahwa seorang mufasir harus mengetahui ilmu nahw dansharf, namun itu saja belum cukup.Seseorang yang mampu berbahasa Arab –bahkan orang Arab sendiri– belum tentu bisa memahami al-Qur’an secara tepat dan baik, jika hatinya sudah menolak terlebih dahulu.Oleh karena itu, antara hati dan ilmu yang dimiliki haruslah padu, agar dapat menyingkap kandungan al-Qur’an dengan baik danbenar. Bagi mereka yang ingin menafsirkan ayat al-Qur’an, namun tidak menguasai ilmu bahasa Arab secara baik, maka dapat dilakukan dengan alat bantu seperti komputer atau bertanya kepada orang yang lebih paham tentang kebahasaan. Melalui cara itu, seseorang dapat memahami isi kandungan al-Qur’an menurut kadar keilmuan dan keahlian yang dia miliki.
Dawam sangat tidak sependapat dengan sejumlah ulama tafsir yang “menghambat” para cendikiawan muslim untuk menafsirkan al-Qur’an. Bentuk hambatan tersebut adalah menetapkan sejumlah syarat pokok untuk menjadi seorang mufasir yang sangat sulit untuk dipenuhi. Padahal menurut Dawam, orang yang membuat syarat tersebut seringkali tidak berbuat sesuatu yang dapat mempermudah orang awam mengakses al-Qur’an.Sementara orang yang merasa telah memenuhi syarat, tidak berbuat apa-apa atau tidak mampu menyajikan tafsir yang memuaskan dan mudah dicerna oleh masyarakat umum.Kondisi ini mengakibatkan tidak atau kurang berkembangnya ilmu tafsir, bahkan lebih dari itu, minat terhadap ilmu tafsir sangat minim belakangan ini.
Terlepas dari kemungkinan munculnya kontroversi dari pendapat atau argumentasinya di atas, yang jelas penulis hanya ingin melihat sisi baiknya yaitu adanya usaha Dawam untuk memotivasi lahirnya generasi mufasir atau menumbuhkan minat masyarakat awam untuk memahami isi kandungan al-Qur’an.Dalam memahami atau menafsirkan al-Qur’an, ada beberapa metode yang dapat digunakan, dan salah satunya yang menjadi pilihan Dawam adalah metode penafsiran tematik/maudhu’i.  Metode tematik memiliki tiga macam titik tolak, yaitu: bertolak dari konsep ilmu-ilmu sosial dan budaya atau filsafat sosial; bertolak dari istilah-istilah dalam al-Qur’an sendiri; dan bertolak dari istilah-istilah dan pengertian yang timbul dari ilmu-ilmu keislaman tradisional. Dari ketiga titik tolak tersebut, Dawam menggunakan titik tolak yang kedua yaitu bertolak dari istilah-istilah dalam al-Qur’an sendiri.
Pilihan Dawam menggunakan titik tolak tersebut didasarkan pada asumsinya bahwa berbagai istilah dalam al-Qur’an itu bersifat padat makna. Sebagai contoh adalah istilah taqwa, ternyata istilah itu dalam al-Qur’an sangat sarat makna, misalnya islam, ihsan, amanah, dan shabr. Pendekatan inilah yang pernah dilakukan Dawam dalam jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an dalam rubrik Ensiklopedi al-Qur’an, dan hingga diterbitkan buku Ensiklopedinya telah memuat 27 entri tematis.[8] Jika dibaca dan dipahami hasil penafsiran Dawam dalam buku Ensiklopedi al-Qur’an, cukup jelas penafsirannya sangat banyak dipengaruhi oleh disiplin ilmu yang ia kuasai, yaitu ilmu sosial budaya. Bahkan secara terang-terangan ia menulis seruan membudayakan nilai-nilai al-Qur’an dalam konteks Indonesia.
Satu hal penting yang tidak bisa diabaikan adalah pemahaman Dawam terhadap surah al-Fatihah. Menurut hipotesisnya, bahwa: (1) Tujuh ayat dalam surah al-Fatihah itu dijelaskan secara berulang-ulang dalam seluruh isi al-Qur’an, (2) al-Qur’an sebenarnya berintikan atau intisarinya tercakup dalam al-Fatihah, atau (3) Isi al-Qur’an seluruhnya menjelaskan tujuh ayat dalam surah al-Fatihah, sehingga (4) Tujuh ayat dalam surah al-Fatihah itu membagi habis kandungan al-Qur’an, atau seluruh kandungan al-Qur’an dapat dibagi habis oleh tujuh ayat dalam surah al-Fatihah, dan karena itu, (5) al-Fatihah disebut Qur’an yang agung karena al-Fatihah adalah al-Qur’an in a nutshell (al-Qur’an dalamesensi).[9]
Tidak berhenti pada hipotesis di atas, Dawam berusaha untuk membuktikan dugaannya tersebut. Kendatipun tidak begitu jelas hasil pembuktiannya tersebut, namun dari hasil pencariannya terhadap ber-bagai istilah kunci, dia menjumpai beberapa kata yang berkaitan satu sama lain, seperti amal shalih, birr, ihsan dan berbagai istilah lainnya yang ternyata berkaitan. Berdasarkan kenyataan itu, ia berkesimpulan bahwa ayat-ayat al-Qur’an merupakan bangunan-bangunan yang satu bagian berhubungan dengan bagian yang lain, sehingga membentuk suatu sistem pengertian[10] yang utuh. Untuk mendapatkan sistem pengertian yang utuh dalam al-Qur’an, sangat diperlukan usaha sunguh-sungguh dalam menafsirkannya oleh semua kalangan yang memiliki kemampuan dan kepedulian terhadapnya.
Pembahasan secara khusus tentang ta’wil, tidak ditemukan dalam buku atau tulisan Dawam.Namun, pemahamannya terkait dengan ayat yang dita’wilkan, bisa dilihat pada komentarnya tentang kata “setan” yang diinformasikan dalam Kitab Genesis atau Kitab Kejadian dengan al-Qur’an. Dalam Kitab Genesis: 3, dijelaskan sebagai berikut:
“Kini ular itu lebih licin dari binatang liar apapun yang telah di-ciptakan Tuhan.Ia berkata kepada perempuan itu: “Apakah Tuhan berkata ‘Engkau tidak boleh memakan buah dari satu pohon pun di taman ini?’.” Dan perempuan itu menjawab kepada sang ular, “Kami boleh memakan buah dari pohon mana pun di taman ini; tetapi Tuhan berkata ‘Engkau tidak boleh memakan buah dari pohon yang paling di tengah itu, dan juga engaku tidak boleh menyentuhnya, karena engkau akan mati’.” Namun ular berkata kepada perempuan itu: “Engkau tidak akan mati. Karena Tuhan tahu bahwa jika engkau memakannya, matamu akan terbuka dan engkau akan seperti Tuhan, mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk”. Maka ketika perempuan itu tahu bahwa pohon itu baik untuk makanan dan menyenangkan mata memandangnya, dan pohon itu dibutuhkan oleh manusia agar bias menjadi bijak, perempuan itu pun mengambil buah itu dan memakannya: dan ia juga memberikannya kepada suaminya dan ia pun memakannya. Kemudian mata kedua orang itu pun terbuka, dan keduanya menyadari bahwa mereka itu telanjang bulat; dan mereka pun merangkai daun sebagai pakaian”.

Sedangkan dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 34-36, Allah SWT menginformasikannya sebagai berikut:

Artinya: “Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. Dan kami berfirman: "Hai Adam, diami-lah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang yang zalim. Lalu keduanya digelincirkanoleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."

Berdasarkan kedua sumber di atas, Dawam mengomentari masalah “setan” sebagai berikut:
a.   Dalam al-Qur’an sama sekali tidak disebutkan ular sebagai pen-jelmaan dari iblis.
b.   Setan tidak membisikkan nasehat yang menyesatkan kepada Hawa saja, melainkan kepada Adam dan isterinya, bahkan tanpa menyebut nama Hawa (Eva), seperti yang sering didengar dalam cerita. Dalam ayat itu tidak disebutkan keterangan mengenai pohon yang dilarang untuk didekati, yang dalam Perjanjian Lama disebut sebagai “pohon pengetahuan mengenai kebaikan dan keburukan”. Keterangan mengenai pohon itu terdapat dalam al-Qur’an surah Thaha/20: 120, disebut sebagai “pohon kekekalan dan kekuasaan yang tidak pernah rusak”.[11]

Dari komentarnya di atas, dapat dipahami kecenderungan Dawam bahwa dia kurang sependapat jika setan dita’wilkan sebagai ular yang merupakan jelmaan dari iblis seperti yang diinformasikan dalam Bibel.Dawam membedakan arti setan dan iblis, karena iblis berasal dari kata balasa yang berarti putus asa, atau ablasa yang berarti dihukum, diam dan menyesal.Sedangkan setan berasal dari kata syathana yang berarti merenggang, menjauh atau yang amat jauh.Walau demikian, keduanya tetap identik, hanya saja yang membedakannya pada fungsi.Iblis adalah dorongan yang berasal dari dalam diri manusia sendiri, sedangkan setan merupakan arus yang berasal dari luar. Dengan kata lain, iblis bersifat internal, sedangkan setan bersifat eksternal.[12]
Berdasarkan penjelasan di atas, tampaknya tidak ada perbedaan antara penta’wilan dan penafsiran yang dilakukan Dawam. Oleh karena itu, penulis menilai bahwa ta’wil dan tafsir yang digunakan Dawam dalam memahami al-Qur’an tidak ada perbedaan atau sama.
 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan pemahaman Dawam tentang al-Qur’an, tafsir dan ta’wil sebagai berikut:
1.Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang merupakan petunjuk (hudan), dan rahmat bagi semua manusia, bukan hanya untuk nabi, auliya Allah atau ulama saja, tetapi untuk semua yang mau bersungguh-sungguh mendapakatnya. Selain itu, al-Qur’an merupakan bayan yang menjadi penjelas bagi setiap petunjuk yang diberikan Allah, dan petunjuk itu merupakan kriteria atau tolok ukur untuk menilai segala sesuatu, terutama untuk membedakan antara yang benar dan salah, yang buruk dan baik, yang seronok dan yang indah.
2.Tafsir adalah cara untuk memahami ayat al-Qur’an secara mendalam dengan melakukan analisa. Pengkajian atau analisa yang dilakukan harus menggunakan metode tertentu, misalnya menjelaskan ayat al-Qur’an berdasarkan ayat al-Qur’an itu sendiri.
3.Ta’wil tidak diartikan secara jelas oleh Dawam, namun jika dilihat dalam penggunaannya pada beberapa ayat, tampaknya ta’wil sama arti dan fungsinya dengan tafsir. Namun secara implisit, dalam pemahaman Dawam, ta’wil adalah sesuatu yang dijelaskan, namun tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan akal sehat manusia.



[1]M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: PT. Temprint, 1996), hlm. xvii.
[2]Ibid., lihat uraian rincinya pada hlm. 62-64.
[3]Ibid., hlm. 31-32.
[4]Ibid., hlm. 2.
[5]Ibid., hlm. 11.
[6] Ibid., lihat penjelasannya pada halaman xix.
[7]Ibid.
[8]Ibid. hlm. 15.
[9]Ibid., hlm. 6.
[10]Ibid., hlm. 32.
[11]Ibid., hlm. 285.
[12]Ibid.

Text Widget

Total Pageviews

Categories

Blogger Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

About Me

Foto Saya
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

mari berteman